Perjalanan
Manokwari-PEGAF
Tanggal
7 September 2018 jam 6:15 pagi pesawat mendarat di bandara Rendani, Manokwari,
Papua Barat. Ini merupakan pengalaman pertama saya ke Manokwari menggunakan
pesawat, setelah turun dari pesawat saya dengan beberapa teman mengambil foto
bersama. Setelah itu kami pun masuk ke ruang kedatangan sambil menunggu bagasi
kami, tampak seorang staff Eco Nusa lainnya bernama Novi sudah menjemput kami
dengan beberapa kendaraan Off-Road. Setelah dijemput kami pun naik ke kendaraan
untuk menuju ke markas BENTARA Papua di daerah amban, sampai disana kami pun
beristirahat sambil mengecek perlengkapan dan sarapan sebelum menuju ke Kampung
Bamaha dan Koctera di Pegunungan Arfak.
Setelah
sarapan dan mengisi daya baterei HP, saya pergi ke pertokoan di daerah mulyono
untuk membeli sandal. Setelah perlengkapan dan kami semua lengkap, kami pun
mendapatkan briefing singkat dan dibagikan mantel hujan, setelah itu kami foto
bersama dan langsung naik ke kendaraan, Saya duduk di bagian luar bersama Bang
Nando, Kaka Frans dan Wahyunis. Setelah
itu mobil yang kami naik mulai bergerak dan perjalanan kami dimulai.
Melintasi
kota manokwari hingga daerah Sowi, saya sangat kagum dengan suasana ketenangan
kota Manokwari. Melintasi daerah Arfai saya kemudian teringat kisah penyerangan
markas arfai pada tahun 1965, hingga berhenti sebesar di Sowi dimana ada
tertulis di sebuah tugu selamat datang di pegunungan Arfak. Setelah konvoi
kendaraan kami lengkap, iring-iringan mobil pun mulai melanjutkan perjalanan
menuju pegunungan Arfak. Kami mulai melintasi jalan beraspal hingga jalan belum
beraspal, mobil mulai melintasi sungai tanpa jembatan hingga kami mulai menaiki
jalan menanjak. Tampak sebuah pohon dipinggir jalan tertancap bendera Jerman
diatasnya, Bang Nando tampak kaget. Saya pun berkata “daerah ini milik pemerintah
Jerman bang”, padahal sebenarnya bendera itu ditancapkan karena euphoria Piala
Dunia 2018 beberapa bulan sebelumnya (pasti Bang Nando percaya apa yang saya
katakan, padahal saya Cuma bercanda). Pemandangan alam yang begitu memukau
membuat rasa lelah pasca penerbangan panjang dari Jakarta hilang begitu saja, tampak
beberapa kali di pinggir jalan terdapar jurang yang terjal. Jalan yang masih
belum mulus membuat kami beberapa kali masuk keluar lubang, lumpur, bahkan
terkadang mobil lari dalam keadaan miring. Tidak ingin membuang-buang
kesempatan terlihat teman-teman di mobil lainnya mendokumentasikan perjalanan
kami, begitu juga dengan saya. Beberapa kali terjadi gesekan biologis dari
Wahyunis kepada Bang Nando, Kaka Frans dan saya.
Akibat dari jalan yang mengharuskan
kami untuk menahan pegangan mobil agar tidak terbentur, namun Wahyunis tidak
mendapat pegangan sehingga secara bergantian dirinya harus memeluk kami agar
tidak terbentur atau terjatuh dari mobil. Karena mobil kami berada di barisan
paling depan membuat kami bisa leluasa melihat apa yang ada di hadapan kami,
pemandangan yang mempesona dipadukan dengan perjalanan yang penuh tantangan
membuat rasa penasaran untuk menikmati perjalanan selalu ada. Kena hujan di
jalan, tabrak kabut hingga menaiki dan menuruni jalanan curam begitu menantang
kami. Perjalanan selama 3 jam hingga kami singgah di ibukota Kabupaten yakni
daerah bernama Irai, dalam kondisi hujan kami pun diarahkan masuk ke sebuah
warung untuk makan siang. Sambil menunggu antrean saya berjalan ke depan Polsek
untuk mengejek kenalan saya disitu, rupanya kenalan saya ini tidak ada karena
sudah pindah tempat tugas. Saya berjalan balik ke warung lalu mengisi makan dan
melahapnya hingga habis bersama Ratih, Daud, Silvo dan Leni. Setelah itu saya berjalan
ke ujung deretan kios tersebut sambil menelpon pacar saya sembari menanyakan
nama sekolah yang dahulu dia mengajar di Anggi, ternyata sekolah tersebut
berada tepat di depan saya.
Seorang anggota
polisi berpakaian preman datang menghampiri saya sambil bercerita, ternyata dia
berasal dari Biak (kabupaten asal saya) sehingga kami bisa cepat akrab, dia
memberitahukan bahwa jika melihat masyarakat membawa senjata jangan kaget
karena itu adalah alat pembayaran mas kawin mereka. Akhirnya setelah bercerita
sekitar 30 menit kami langsung melanjutkan perjalanan kami menuju kampung
Bamaha dan Kostera.
KAMPUNG BAMAHA DAN KOSTERA
Dua
kampung yang menjadi tempat live-in kami adalah kampung Bamaha dan Kostera, 2
kampung ini berada di distrik Anggi dan Distrik Sururey yang berbatasan secara
langsung. Sebenarnya ada 3 kampung yakni ditambah Kampung Testega, tetapi
karena satu dan lain hal maka kami hanya di 2 kampung.
Ketika
kami tiba di kampung Bamaha, suhu dingin mulai terasa (pikirku ini akibat baru
selesai hujan), kami semua masuk ke rumah belajar atau kantor kampung untuk
mendapatkan arahan. Saat arahan berlangsung tiba-tiba bunyi “bom alami”
meledak, sebuah kentut selamat datang dari salah satu teman kami. Setelah
arahan di dalam kantor tersebut, kami keluar untuk memperkenalkan diri
sekaligus bersalaman dengan masyarakat yang mulai berdatangan sekaligus juga
pembagian keluarga angkat kami. Saya, Jaqualine dan Angel tinggal bersama
keluarga Bapak Ismael Saiba. Menempati rumah deretan pertama di kampung Bamaha
dari arah Irai, tepat setelah jembatan.
Kami
bertiga mengikuti Bapak Ismael ke rumah, sampai di rumah kami di perkenalkan
kepada istri dan anak-anak Bapak Ismael Saiba. Setelah berkenalan kami menaruh
barang-barang kami lalu Bapa mengajak saya untuk pergi ambil kayu bakar karena
malam hari suhu akan turun hingga dingin,
Bapa kemudian memberikan saya sepatu jengger
boot untuk saya pakai kemudian kami berjalan ke hutan di belakang SD
(Sekolah Dasar). Sambil berjalan dan bercerita Bapa mengatakan bahwa dahulu mereka
suka berjalan menaiki bukit untuk sampai ke Irai (IbuKota Kabupaten Pegunungan
Arfak) sebelum ada jalan seperti sekarang, sampai di dalam hutan lalu Bapa
mulai memotong kayu kering dan kami berdua memikulnya ke rumah. Jarak antara
rumah ke lokasi pengambilan kayu bakar sekitar 200-250 meter, sebenarnya saat
mengikuti Bapa ambil kayu bakar saya sedang mengalami lelah yang luar biasa
setelah penerbangan Jakarta-Manokwari kemudian jalan darat Manokwari-Pegunungan Arfak, namun ketika
bercerita dengan Bapa semua lelah itu hilang. Setelah balik ke rumah, tampak
Mama bersama Sine dan Jeklin serta Angel sudah mempersiapkan makanan. Kami pun
makan sambil bercerita, saat malam hari Bapa mengajari saya membuat api di
tungku di dalam rumah kaki seribu yang kami tempati. Sebenarnya Bapa Ismael
memiliki rumah kaki seribu dan rumah batu, tetapi malam hari kami lebih hangat
tidur di rumah kaki seribu. Sebelum tidur, kami bertiga menulis laporan
kegiatan kami selama sehari sebagai laporan ke panitia.
Baca Juga
ARFAK, PESONA PAPUA YANG TERSEMBUNYI
Hari kedua
(Sabtu, 8 September) saya bangun dan mengambil handuk hendak mandi, tampak
Jeklin dan Angel sudah mencuci piring yang pada malam hari kami pakai makan.
Saya keluar menuju kamar mandi untuk mandi namun air di kamar mandi kosong,
tampak beberapa anak kecil memperhatikan saya sambil senyum-senyum. Sayapun
memanggil mereka untuk menanyakan dimana biasa tempat kaum pria mandi (maklum
hari pertama saya tidak mandi), mereka mengatakan di kali. Namun saya
sebenarnya lebih penasaran dengan danau anggi, sayapun meminta mereka membawa
saya ke danau. Mereka ada 5 orang, kami berenam pun jalan sambil bercerita.
Ternyata hari sabtu sekolah disana libur, orang-orang ke gereja untuk beribadah
singkat sembari mempersiapkan ibadah hari minggu. Ketika kami berjalan pulang
menuju rumah, Bapa dan Mama sudah pulang dari gereja. Lalu Bapa dan Sine
mengajar kami bertiga untuk pergi mancing di tanjung kostera, Sine mencari
cacing di got depang rumah kemudian Bapa memberikan beberapa alat pancing saya
pegang lalu kami pun berjalan menuju lokasi mancing. Hari itu kami
kurang beruntung, hasil pancingan kami hanya
mendapatkan 2 ekor ikan mujair. Tetapi saya puas bisa tidur dan menikmati alam
danau anggi yang sudah sejak tahun 2015 saya ingin kesana.
Hari ketiga
(Minggu, 9 September) kami fokus ke ibadah, pagi-pagi saya masak air ditunggu
kemudian mandi di kamar mandi lalu ke gereja. GPKAI (Gereja
Persekutuan Kristen Alkitab Indonesia) menjadi denominasi gereja yang mayoritas
di sekitaran danau Anggi, tampak sebelum firman disampaikan jemaat menyanyikan
lagu-lagu rohani dalam bahasa daerah sob.
Biasanya ibadah dari awal sampai akhir akan dilaksanakan dalam bahasa
daerah, tetapi karena ada orang dari luar atau tamu maka penyampaian firman
akan diselingi antara bahasa Sob dan
Indonesia. Setelah pulang ibadah Bapa dan Sine mengajak Saya, Ekin dan Angel
untuk menaiki gunung Kobrey dan melihat danau perempuan (Anggi Gida). Ketika
menaiki tanjakan jalan potong (sebutan untuk jalan alternatif), tampak Jeklin
dan Angel sudah lelah sehingga mereka hanya sampai di jalan utama lalu mereka
balik ke rumah bersama Sine. Saya dan Bapa tetap melanjutkan perjalanan ke arah
atas untuk melihat danau perempuan, jalan utama yang berkelok menanjak cukup
menguras tenaga. Beruntung Yosua (anak nomor 4 Bapak Ismael) lewat pakai motor
sehingga saya langsung meminta dia mengantar saya naik ke atas duluan, ketika
melewati jalan ada sebuah papan bertuliskan Welcome
To Anggi saya langsung minta diturunkan disitu untuk berfoto sambil menunggu
Bapa, ternyata disitu sudah ada 4 teman saya Havi, Koko, Unggul dan Mila
bersama seorang adik dari kampung Bamaha yang berjalan-jalan keatas untuk
foto-foto. Sayapun bergabung bersama mereka berfoto sambil menunggu Bapa, setelah
berfoto disitu lalu saya dan bapak melanjutkan perjalanan. Tampak perjalanan
yang melelahkan namun saya sangat menikmatinya karena bisa melihat perkampungan
distrik sururey dan gunung maut dari kejauhan serta pemandangan menakjubkan
danau anggi giji. Setelah sampai di lokasi yang kami bisa melihat danau anggi
gida, langsung Bapak Ismael suruh kami berhenti dan ambil gambar sebelum danau
tertutup kabut. Kamipun berfoto dan melihat danau anggi gida selama 5 menit
sebelum tertutup kabut lalu kembali ke kampung bamaha sambil mengumpulkan kayu
bakar sepanjang perjalanan.
Hari-hari
berikutnya kami lalui dengan mengikuti kehidupan sehari-hari keluarga dimana
rumahnya kami tinggali, seperti ke kebun hingga mancing di danau bahkan ada
beberapa teman kami yang menjadi relawan di sekolah untuk membantu mengajar
disana. Pada hari ke-enam (Rabu, 12 September 2018) saya, Jeklin dan Enjel
bersama Bapak Ismael dan keluarganya (Mama, Sine dan Yosua) pergi membersihkan
kebun kentang yang telah mereka panen beberapa minggu sebelumnya untuk digarap
tanahnya agar bisa ditanam lagi nantinya. Mencangkul diketinggian 1500 Mdpl
bukan perkara mudah, tetapi sangat mengasyikan. Kami juga mengumpulkan beberapa
kentang yang masih didalam tanam yang belum sempat dipanen untuk kami bawa
pulang masak, setelah dari kebun saya dan Yosua langsung mengambil alat pancing
dan mencari umpan cacing di depan rumah untuk pergi mancing di danau. Kami membawa
2 buah pancingan dan saya gunakan keduanya, sambil saya mancing Yosua duduk
dalam perahu di tepian danau sambil kami bercerita. Tidak lama kemudian “strike”
terjadi, kami mancing dari jam 2 siang sampai jam 4 sore dengan mendapatkan 4
buah ikan mujair selebar telapak tangan orang dewasa. Sampai dirumah saya langsung
merasa kedinginan dan tidur, ternyata saya mengalami hypertemia sehingga membuat Jeklin dan Enjel panik. Mereka berdua
langsung memanggil Kaka Frans, Kaka Frans langsung membakar minyak Tawon di
sendok kemudian sendoknya ditaruh ke kaki saya. Saya yang takut coba merontak
tapi ternyata itu supaya mengecek saraf-saraf kaki saya. Sayapun disuruh
istirahat pada malam itu, padahal teman-teman lainnya sedang kumpul untuk
membicarakan perpisahan dengan masyarakat kampung yang akan dilaksanakan pada
keesokan harinya.
Hari
kamis, 13 September 2018. Saya bangun pagi dan langsung membantu teman-teman
yang sedang mengumpulkan sampah di kampung Bamaha dan Kostera, setelah selesai
mengumpulkan sampah kami beberapa orang melanjutkan ke hutan untuk mengambil
kayu bakar. Setelah kayu bakar cukup kami mengangkatnya dan menaruh di rumah
belakang kantor desa untuk dipakai masak untuk acara perpisahan pada sore hari.
Hari mulai sore kami pun berkumpul di salah satu ruangan SD Inpres 24 Bamaha, setelah
masyarakat kampung Bamaha dan Kostera serta kami para peserta SED 2018 berada
di dalam ruangan acara pun dimulai. Sambutan-sambutan dari tokoh adat,
pemerintah kampung hingga pihak Econusa. Kami juga menyanyi lagu yang membuat
hati menangis, ditambah sebuah puisi yang dibacakan Hanifah teman kami. Acara perpisahan
berakhir dengan makan bersama dan foto-foto di lapangan sekolah hingga kami
kembali ke rumah masing-masing untuk beristirahat karena jam 3 subuh mau
mendaki ke gunung Kobrey.
Alarm
HP berbunyi, Saya dan Jeklin pun terbangun sambil melihat jam. Ternyata sudah
jam 2:30 pagi, kami langsung membangunkan Enjel dan meminta ijin ke Bapa untuk
kami jalan pagi bersama teman-teman lainnya mendaki ke puncak Gunung Kobrey. Setelah
bertemu teman-teman lainnya, saya dipercayakan memegang sebuah papan berwarna
hijau kami langsung mendaki lewat jalan potong yang menanjak, saya berada di
urutan ke-3 dari depan setelah seorang adik penduduk kampung yang kami ajak
sebagai penuntuk jalan dan teman Leni. Saya memakai jaket lapis 3 untuk
mendaki, udara pagi yang dingin tampak tidak begitu terlalu menjadi masalah, tetapi
perjalanan menanjak yang membuat kami harus beberapa kali menunggu teman-teman
lainnya. Setelah sampai di tempat tujuan kami yang beberapa hari sebelumnya
telah saya dan Bapak Ismael datangi untuk melihat Danau Anggi Gida kami pun
beristirahat, sambil menancapkan balok untuk memasang sebuah pesan bertulisakan
“Jagalah Kebersihan”.
Setelah itu saya bersama ade Edo dan Leni langsung naik
duluan ke puncak, setelah kami turun dari puncak baru beberapa teman lainnya
naik. Kami kurang beruntung karena pada hari itu puncak kobrey berkabut
sehingga kami tidak bisa melihat danau anggi gida, ditengah kabut kami
mendengar bunyi motor dalam kesunyian. Kamipun berdiri di pinggir jalan, tampak
seorang ojek kios dari manokwari yang lewat, kami langsung membeli kue-kue yang
dia bawa. Kami berada di gunung Kobrey sampai jam 10 lalu kami turun ke kampung
Bamaha.
Semua berjalan hingga rombongan terakhir hanya tersisa Saya, Jeklin dan
Alfa. Saat itu kaki Alfa sedikit merasa sakit sehingga dia harus berjalan
menggunakan tongkat. Kami berjalan melewati jalan utama yang berkelok-kelok
sehingga durasi waktunya cukup lama, tetapi karena berjalan sambil bercerita
kami tidak sadar sudah dekat kampung kostera. Dalam perjalanan juga Alfa
bercerita tentang kehidupan orang Arfak di masa lampau, begitu juga dengan
sebuah bunga yang digunakan untuk membuat noken oleh orang-orang Arfak. Setelah
sampai di rumah kami pun beraktivitas seperti biasa.
Sabtu
pagi (15 September 2018) kami mulai berkemas dan mempersiapkan barang-barang
kami untuk turun kembali ke Manokwari, sambil berjalan pamitan ke masyarakat di
kampung Bamaha dan Kostera saya diberikan sebuah karung yang berisikan daun
bawang, kol, kentang dan wortel. Setelah kendaraan-kendaraan kami tiba, kami
mulai pamitan dan foto bersama keluarga-keluarga angkat kami masing-masing. Tangisan
dan pelukan hangat menemani perpisahan itu, seorang adik kecil bernama Ikon
bahkan rela mengisi tas sekolahnya dengan pakaian dan langsung minta ikut
bersama kami. Sebuah perpisahan yang benar-benar membuat tidak ada satupun
diantara kami para peserta SED 2018 yang mampu menahan air mata. Saya duduk di
dalam mobil bersama Jeklin, Enjel dan Alfa. Setelah mobil sampai di Irai
(Ibukota Kabupaten Pegunungan Arfak) dan berhenti sejenak untuk membeli bekal
sebelum perjalanan jauh ke Manokwari, saya langsung mencari Coca-cola Kaleng
minuman kesukaan saya dan akhirnya dapat juga. Setelah itu kami pun melanjutkan
perjalanan ke Manokwari.
Selanjutnya SED2018 Bagian 5 MANOKWARI YANG PENUH KENANGAN
Comments
Post a Comment