Skip to main content

Featured

Cerita Perjalanan: Sorong-Pomako (Bagian 1)

 120 JAM Berlayar Bersama Sabuk Nusantara 75 Rabu sore (28/8) usai berkunjung ke keluarga di pulau Doom, saya lalu mampir untuk makan es pisang ijo di belakang kantor PLN Kota Sorong. Kebetulan yang menjualnya adalah teman lama saya saat bekerja di Tambrauw, namanya Noritha Fentiana Murafer. Usai menyantap 2 porsi es pisang ijo saya langsung pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah, saya lalu membereskan barang-barang kedalam 2 ransel "teman hidup" saya. Kemudian makan dan mandi, setelah beres saya lalu berpamitan dan menuju ke pelabuhan menggunakan angkutan umum. Saat sampai di pelabuhan sekitar jam 7.30 malam, ternyata kapal belum masuk. Saya akan berlayar menggunakan KM. Sabuk Nusantara 75 dari Sorong ke Pomako (Mimika). Pelayaran ini memiliki rute Sorong-Yellu- Bula- Geser- Goram- Fakfak- Karas- Kaimana- Lobo- Pomako. Artinya kami akan menyinggahi 8 pemberhentian sebelum sampai ke pelabuhan tujuan saya. Setelah menunggu beberapa saat, tidak lama kemudian kapal pun sandar

SED2018-Bagian 4 PEGUNUNGAN ARFAK YANG MEMPESONA








Perjalanan Manokwari-PEGAF
                Tanggal 7 September 2018 jam 6:15 pagi pesawat mendarat di bandara Rendani, Manokwari, Papua Barat. Ini merupakan pengalaman pertama saya ke Manokwari menggunakan pesawat, setelah turun dari pesawat saya dengan beberapa teman mengambil foto bersama. Setelah itu kami pun masuk ke ruang kedatangan sambil menunggu bagasi kami, tampak seorang staff Eco Nusa lainnya bernama Novi sudah menjemput kami dengan beberapa kendaraan Off-Road. Setelah dijemput kami pun naik ke kendaraan untuk menuju ke markas BENTARA Papua di daerah amban, sampai disana kami pun beristirahat sambil mengecek perlengkapan dan sarapan sebelum menuju ke Kampung Bamaha dan Koctera di Pegunungan Arfak.
                Setelah sarapan dan mengisi daya baterei HP, saya pergi ke pertokoan di daerah mulyono untuk membeli sandal. Setelah perlengkapan dan kami semua lengkap, kami pun mendapatkan briefing singkat dan dibagikan mantel hujan, setelah itu kami foto bersama dan langsung naik ke kendaraan, Saya duduk di bagian luar bersama Bang Nando, Kaka Frans dan Wahyunis.  Setelah itu mobil yang kami naik mulai bergerak dan perjalanan kami dimulai.
                Melintasi kota manokwari hingga daerah Sowi, saya sangat kagum dengan suasana ketenangan kota Manokwari. Melintasi daerah Arfai saya kemudian teringat kisah penyerangan markas arfai pada tahun 1965, hingga berhenti sebesar di Sowi dimana ada tertulis di sebuah tugu selamat datang di pegunungan Arfak. Setelah konvoi kendaraan kami lengkap, iring-iringan mobil pun mulai melanjutkan perjalanan menuju pegunungan Arfak. Kami mulai melintasi jalan beraspal hingga jalan belum beraspal, mobil mulai melintasi sungai tanpa jembatan hingga kami mulai menaiki jalan menanjak. Tampak sebuah pohon dipinggir jalan tertancap bendera Jerman diatasnya, Bang Nando tampak kaget. Saya pun berkata “daerah ini milik pemerintah Jerman bang”, padahal sebenarnya bendera itu ditancapkan karena euphoria Piala Dunia 2018 beberapa bulan sebelumnya (pasti Bang Nando percaya apa yang saya katakan, padahal saya Cuma bercanda). Pemandangan alam yang begitu memukau membuat rasa lelah pasca penerbangan panjang dari Jakarta hilang begitu saja, tampak beberapa kali di pinggir jalan terdapar jurang yang terjal. Jalan yang masih belum mulus membuat kami beberapa kali masuk keluar lubang, lumpur, bahkan terkadang mobil lari dalam keadaan miring. Tidak ingin membuang-buang kesempatan terlihat teman-teman di mobil lainnya mendokumentasikan perjalanan kami, begitu juga dengan saya. Beberapa kali terjadi gesekan biologis dari Wahyunis kepada Bang Nando, Kaka Frans dan saya.

Akibat dari jalan yang mengharuskan kami untuk menahan pegangan mobil agar tidak terbentur, namun Wahyunis tidak mendapat pegangan sehingga secara bergantian dirinya harus memeluk kami agar tidak terbentur atau terjatuh dari mobil. Karena mobil kami berada di barisan paling depan membuat kami bisa leluasa melihat apa yang ada di hadapan kami, pemandangan yang mempesona dipadukan dengan perjalanan yang penuh tantangan membuat rasa penasaran untuk menikmati perjalanan selalu ada. Kena hujan di jalan, tabrak kabut hingga menaiki dan menuruni jalanan curam begitu menantang kami. Perjalanan selama 3 jam hingga kami singgah di ibukota Kabupaten yakni daerah bernama Irai, dalam kondisi hujan kami pun diarahkan masuk ke sebuah warung untuk makan siang. Sambil menunggu antrean saya berjalan ke depan Polsek untuk mengejek kenalan saya disitu, rupanya kenalan saya ini tidak ada karena sudah pindah tempat tugas. Saya berjalan balik ke warung lalu mengisi makan dan melahapnya hingga habis bersama Ratih, Daud, Silvo dan Leni. Setelah itu saya berjalan ke ujung deretan kios tersebut sambil menelpon pacar saya sembari menanyakan nama sekolah yang dahulu dia mengajar di Anggi, ternyata sekolah tersebut berada tepat di depan saya. 
Seorang anggota polisi berpakaian preman datang menghampiri saya sambil bercerita, ternyata dia berasal dari Biak (kabupaten asal saya) sehingga kami bisa cepat akrab, dia memberitahukan bahwa jika melihat masyarakat membawa senjata jangan kaget karena itu adalah alat pembayaran mas kawin mereka. Akhirnya setelah bercerita sekitar 30 menit kami langsung melanjutkan perjalanan kami menuju kampung Bamaha dan Kostera.
KAMPUNG BAMAHA DAN KOSTERA
                Dua kampung yang menjadi tempat live-in kami adalah kampung Bamaha dan Kostera, 2 kampung ini berada di distrik Anggi dan Distrik Sururey yang berbatasan secara langsung. Sebenarnya ada 3 kampung yakni ditambah Kampung Testega, tetapi karena satu dan lain hal maka kami hanya di 2 kampung.
                Ketika kami tiba di kampung Bamaha, suhu dingin mulai terasa (pikirku ini akibat baru selesai hujan), kami semua masuk ke rumah belajar atau kantor kampung untuk mendapatkan arahan. Saat arahan berlangsung tiba-tiba bunyi “bom alami” meledak, sebuah kentut selamat datang dari salah satu teman kami. Setelah arahan di dalam kantor tersebut, kami keluar untuk memperkenalkan diri sekaligus bersalaman dengan masyarakat yang mulai berdatangan sekaligus juga pembagian keluarga angkat kami. Saya, Jaqualine dan Angel tinggal bersama keluarga Bapak Ismael Saiba. Menempati rumah deretan pertama di kampung Bamaha dari arah Irai, tepat setelah jembatan.
                Kami bertiga mengikuti Bapak Ismael ke rumah, sampai di rumah kami di perkenalkan kepada istri dan anak-anak Bapak Ismael Saiba. Setelah berkenalan kami menaruh barang-barang kami lalu Bapa mengajak saya untuk pergi ambil kayu bakar karena malam hari suhu akan turun hingga dingin,  Bapa kemudian memberikan saya sepatu jengger boot untuk saya pakai kemudian kami berjalan ke hutan di belakang SD (Sekolah Dasar). Sambil berjalan dan bercerita Bapa mengatakan bahwa dahulu mereka suka berjalan menaiki bukit untuk sampai ke Irai (IbuKota Kabupaten Pegunungan Arfak) sebelum ada jalan seperti sekarang, sampai di dalam hutan lalu Bapa mulai memotong kayu kering dan kami berdua memikulnya ke rumah. Jarak antara rumah ke lokasi pengambilan kayu bakar sekitar 200-250 meter, sebenarnya saat mengikuti Bapa ambil kayu bakar saya sedang mengalami lelah yang luar biasa setelah penerbangan Jakarta-Manokwari kemudian jalan darat  Manokwari-Pegunungan Arfak, namun ketika bercerita dengan Bapa semua lelah itu hilang. Setelah balik ke rumah, tampak Mama bersama Sine dan Jeklin serta Angel sudah mempersiapkan makanan. Kami pun makan sambil bercerita, saat malam hari Bapa mengajari saya membuat api di tungku di dalam rumah kaki seribu yang kami tempati. Sebenarnya Bapa Ismael memiliki rumah kaki seribu dan rumah batu, tetapi malam hari kami lebih hangat tidur di rumah kaki seribu. Sebelum tidur, kami bertiga menulis laporan kegiatan kami selama sehari sebagai laporan ke panitia.

Baca Juga ARFAK, PESONA PAPUA YANG TERSEMBUNYI

Hari kedua (Sabtu, 8 September) saya bangun dan mengambil handuk hendak mandi, tampak Jeklin dan Angel sudah mencuci piring yang pada malam hari kami pakai makan. Saya keluar menuju kamar mandi untuk mandi namun air di kamar mandi kosong, tampak beberapa anak kecil memperhatikan saya sambil senyum-senyum. Sayapun memanggil mereka untuk menanyakan dimana biasa tempat kaum pria mandi (maklum hari pertama saya tidak mandi), mereka mengatakan di kali. Namun saya sebenarnya lebih penasaran dengan danau anggi, sayapun meminta mereka membawa saya ke danau. Mereka ada 5 orang, kami berenam pun jalan sambil bercerita. Ternyata hari sabtu sekolah disana libur, orang-orang ke gereja untuk beribadah singkat sembari mempersiapkan ibadah hari minggu. Ketika kami berjalan pulang menuju rumah, Bapa dan Mama sudah pulang dari gereja. Lalu Bapa dan Sine mengajar kami bertiga untuk pergi mancing di tanjung kostera, Sine mencari cacing di got depang rumah kemudian Bapa memberikan beberapa alat pancing saya pegang lalu kami pun berjalan menuju lokasi mancing. Hari itu kami  kurang beruntung, hasil pancingan kami hanya mendapatkan 2 ekor ikan mujair. Tetapi saya puas bisa tidur dan menikmati alam danau anggi yang sudah sejak tahun 2015 saya ingin kesana.
Hari ketiga (Minggu, 9 September) kami fokus ke ibadah, pagi-pagi saya masak air ditunggu kemudian mandi di kamar mandi lalu ke gereja. GPKAI (Gereja Persekutuan Kristen Alkitab Indonesia) menjadi denominasi gereja yang mayoritas di sekitaran danau Anggi, tampak sebelum firman disampaikan jemaat menyanyikan lagu-lagu rohani dalam bahasa daerah sob. Biasanya ibadah dari awal sampai akhir akan dilaksanakan dalam bahasa daerah, tetapi karena ada orang dari luar atau tamu maka penyampaian firman akan diselingi antara bahasa Sob dan Indonesia. Setelah pulang ibadah Bapa dan Sine mengajak Saya, Ekin dan Angel untuk menaiki gunung Kobrey dan melihat danau perempuan (Anggi Gida). Ketika menaiki tanjakan jalan potong (sebutan untuk jalan alternatif), tampak Jeklin dan Angel sudah lelah sehingga mereka hanya sampai di jalan utama lalu mereka balik ke rumah bersama Sine. Saya dan Bapa tetap melanjutkan perjalanan ke arah atas untuk melihat danau perempuan, jalan utama yang berkelok menanjak cukup menguras tenaga. Beruntung Yosua (anak nomor 4 Bapak Ismael) lewat pakai motor sehingga saya langsung meminta dia mengantar saya naik ke atas duluan, ketika melewati jalan ada sebuah papan bertuliskan Welcome To Anggi saya langsung minta diturunkan disitu untuk berfoto sambil menunggu Bapa, ternyata disitu sudah ada 4 teman saya Havi, Koko, Unggul dan Mila bersama seorang adik dari kampung Bamaha yang berjalan-jalan keatas untuk foto-foto. Sayapun bergabung bersama mereka berfoto sambil menunggu Bapa, setelah berfoto disitu lalu saya dan bapak melanjutkan perjalanan. Tampak perjalanan yang melelahkan namun saya sangat menikmatinya karena bisa melihat perkampungan distrik sururey dan gunung maut dari kejauhan serta pemandangan menakjubkan danau anggi giji. Setelah sampai di lokasi yang kami bisa melihat danau anggi gida, langsung Bapak Ismael suruh kami berhenti dan ambil gambar sebelum danau tertutup kabut. Kamipun berfoto dan melihat danau anggi gida selama 5 menit sebelum tertutup kabut lalu kembali ke kampung bamaha sambil mengumpulkan kayu bakar sepanjang perjalanan.

Hari-hari berikutnya kami lalui dengan mengikuti kehidupan sehari-hari keluarga dimana rumahnya kami tinggali, seperti ke kebun hingga mancing di danau bahkan ada beberapa teman kami yang menjadi relawan di sekolah untuk membantu mengajar disana. Pada hari ke-enam (Rabu, 12 September 2018) saya, Jeklin dan Enjel bersama Bapak Ismael dan keluarganya (Mama, Sine dan Yosua) pergi membersihkan kebun kentang yang telah mereka panen beberapa minggu sebelumnya untuk digarap tanahnya agar bisa ditanam lagi nantinya. Mencangkul diketinggian 1500 Mdpl bukan perkara mudah, tetapi sangat mengasyikan. Kami juga mengumpulkan beberapa kentang yang masih didalam tanam yang belum sempat dipanen untuk kami bawa pulang masak, setelah dari kebun saya dan Yosua langsung mengambil alat pancing dan mencari umpan cacing di depan rumah untuk pergi mancing di danau. Kami membawa 2 buah pancingan dan saya gunakan keduanya, sambil saya mancing Yosua duduk dalam perahu di tepian danau sambil kami bercerita. Tidak lama kemudian “strike” terjadi, kami mancing dari jam 2 siang sampai jam 4 sore dengan mendapatkan 4 buah ikan mujair selebar telapak tangan orang dewasa. Sampai dirumah saya langsung merasa kedinginan dan tidur, ternyata saya mengalami hypertemia sehingga membuat Jeklin dan Enjel panik. Mereka berdua langsung memanggil Kaka Frans, Kaka Frans langsung membakar minyak Tawon di sendok kemudian sendoknya ditaruh ke kaki saya. Saya yang takut coba merontak tapi ternyata itu supaya mengecek saraf-saraf kaki saya. Sayapun disuruh istirahat pada malam itu, padahal teman-teman lainnya sedang kumpul untuk membicarakan perpisahan dengan masyarakat kampung yang akan dilaksanakan pada keesokan harinya.
Hari kamis, 13 September 2018. Saya bangun pagi dan langsung membantu teman-teman yang sedang mengumpulkan sampah di kampung Bamaha dan Kostera, setelah selesai mengumpulkan sampah kami beberapa orang melanjutkan ke hutan untuk mengambil kayu bakar. Setelah kayu bakar cukup kami mengangkatnya dan menaruh di rumah belakang kantor desa untuk dipakai masak untuk acara perpisahan pada sore hari. Hari mulai sore kami pun berkumpul di salah satu ruangan SD Inpres 24 Bamaha, setelah masyarakat kampung Bamaha dan Kostera serta kami para peserta SED 2018 berada di dalam ruangan acara pun dimulai. Sambutan-sambutan dari tokoh adat, pemerintah kampung hingga pihak Econusa. Kami juga menyanyi lagu yang membuat hati menangis, ditambah sebuah puisi yang dibacakan Hanifah teman kami. Acara perpisahan berakhir dengan makan bersama dan foto-foto di lapangan sekolah hingga kami kembali ke rumah masing-masing untuk beristirahat karena jam 3 subuh mau mendaki ke gunung Kobrey.

Alarm HP berbunyi, Saya dan Jeklin pun terbangun sambil melihat jam. Ternyata sudah jam 2:30 pagi, kami langsung membangunkan Enjel dan meminta ijin ke Bapa untuk kami jalan pagi bersama teman-teman lainnya mendaki ke puncak Gunung Kobrey. Setelah bertemu teman-teman lainnya, saya dipercayakan memegang sebuah papan berwarna hijau kami langsung mendaki lewat jalan potong yang menanjak, saya berada di urutan ke-3 dari depan setelah seorang adik penduduk kampung yang kami ajak sebagai penuntuk jalan dan teman Leni. Saya memakai jaket lapis 3 untuk mendaki, udara pagi yang dingin tampak tidak begitu terlalu menjadi masalah, tetapi perjalanan menanjak yang membuat kami harus beberapa kali menunggu teman-teman lainnya. Setelah sampai di tempat tujuan kami yang beberapa hari sebelumnya telah saya dan Bapak Ismael datangi untuk melihat Danau Anggi Gida kami pun beristirahat, sambil menancapkan balok untuk memasang sebuah pesan bertulisakan “Jagalah Kebersihan”.

 Setelah itu saya bersama ade Edo dan Leni langsung naik duluan ke puncak, setelah kami turun dari puncak baru beberapa teman lainnya naik. Kami kurang beruntung karena pada hari itu puncak kobrey berkabut sehingga kami tidak bisa melihat danau anggi gida, ditengah kabut kami mendengar bunyi motor dalam kesunyian. Kamipun berdiri di pinggir jalan, tampak seorang ojek kios dari manokwari yang lewat, kami langsung membeli kue-kue yang dia bawa. Kami berada di gunung Kobrey sampai jam 10 lalu kami turun ke kampung Bamaha. 

Semua berjalan hingga rombongan terakhir hanya tersisa Saya, Jeklin dan Alfa. Saat itu kaki Alfa sedikit merasa sakit sehingga dia harus berjalan menggunakan tongkat. Kami berjalan melewati jalan utama yang berkelok-kelok sehingga durasi waktunya cukup lama, tetapi karena berjalan sambil bercerita kami tidak sadar sudah dekat kampung kostera. Dalam perjalanan juga Alfa bercerita tentang kehidupan orang Arfak di masa lampau, begitu juga dengan sebuah bunga yang digunakan untuk membuat noken oleh orang-orang Arfak. Setelah sampai di rumah kami pun beraktivitas seperti biasa.

Sabtu pagi (15 September 2018) kami mulai berkemas dan mempersiapkan barang-barang kami untuk turun kembali ke Manokwari, sambil berjalan pamitan ke masyarakat di kampung Bamaha dan Kostera saya diberikan sebuah karung yang berisikan daun bawang, kol, kentang dan wortel. Setelah kendaraan-kendaraan kami tiba, kami mulai pamitan dan foto bersama keluarga-keluarga angkat kami masing-masing. Tangisan dan pelukan hangat menemani perpisahan itu, seorang adik kecil bernama Ikon bahkan rela mengisi tas sekolahnya dengan pakaian dan langsung minta ikut bersama kami. Sebuah perpisahan yang benar-benar membuat tidak ada satupun diantara kami para peserta SED 2018 yang mampu menahan air mata. Saya duduk di dalam mobil bersama Jeklin, Enjel dan Alfa. Setelah mobil sampai di Irai (Ibukota Kabupaten Pegunungan Arfak) dan berhenti sejenak untuk membeli bekal sebelum perjalanan jauh ke Manokwari, saya langsung mencari Coca-cola Kaleng minuman kesukaan saya dan akhirnya dapat juga. Setelah itu kami pun melanjutkan perjalanan ke Manokwari.

Selanjutnya SED2018 Bagian 5 MANOKWARI YANG PENUH KENANGAN
 

Comments

Popular Posts