Skip to main content

Featured

Cerita Perjalanan: Sorong-Pomako (Bagian 1)

 120 JAM Berlayar Bersama Sabuk Nusantara 75 Rabu sore (28/8) usai berkunjung ke keluarga di pulau Doom, saya lalu mampir untuk makan es pisang ijo di belakang kantor PLN Kota Sorong. Kebetulan yang menjualnya adalah teman lama saya saat bekerja di Tambrauw, namanya Noritha Fentiana Murafer. Usai menyantap 2 porsi es pisang ijo saya langsung pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah, saya lalu membereskan barang-barang kedalam 2 ransel "teman hidup" saya. Kemudian makan dan mandi, setelah beres saya lalu berpamitan dan menuju ke pelabuhan menggunakan angkutan umum. Saat sampai di pelabuhan sekitar jam 7.30 malam, ternyata kapal belum masuk. Saya akan berlayar menggunakan KM. Sabuk Nusantara 75 dari Sorong ke Pomako (Mimika). Pelayaran ini memiliki rute Sorong-Yellu- Bula- Geser- Goram- Fakfak- Karas- Kaimana- Lobo- Pomako. Artinya kami akan menyinggahi 8 pemberhentian sebelum sampai ke pelabuhan tujuan saya. Setelah menunggu beberapa saat, tidak lama kemudian kapal pun sandar

19 Tahun Otonomi Khusus Papua, Sudahkah Papua Otonom?

 


Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, tahun 2020 genap berusia 19 tahun sejak ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri pada 21 November 2001 silam. Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi di ujung timur Indonesia itu sebagai salah satu solusi atas kencangnya permintaan masyarakat Papua untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Atas permintaan kemerdekaan Papua itulah Otonomi Khusus diberikan untuk meredam gejolak politik, apakah setelah 19 tahun otonomi khusus diberlakukan aspirasi Papua merdeka mereda? Jawabannya dapat pembaca jawab sendiri! Lalu bagaimana dengan status Papua sebagai daerah otonom?

Dalam UU No 21 tahun 2001 Bab 1 Ketentuan Umum, Pasal 1  poin b tertulis “Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua”. Sebagai daerah yang mendapatkan status otonomi Khusus, tentunya Papua “harusnya” memiliki keistimewahan tersendiri. Apa saja yang “istimewah” di Papua sejak diberlakukannya Otonomi Khusus? Ada beberapa hal yang istimewah seperti dibentuknya MRP sebagai representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Selain itu keistimewahan lainnya juga adalah Perdasus (Peraturan daerah khusus) sebagai turunan pasal-pasal dalam UU No 21 Tahun 2001, dan ada juga aturan tentang yang berhak menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Orang asli Papua. Serta juga mendapatkan alokasi Dana Alokasi Umum sebesar 2% dari Plafon DAU nasional.

Lalu apakah beberapa keistimewahan diatas sudah menjadikan Papua sebagai daerah otonom? Jawabannya bisa pembaca jawab sendiri setelah membandingkan dengan pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Aceh.  

Provinsi Aceh sudah memiliki 4 Partai lokal yang sudah mengikuti pemilihan umum disana, diantaranya: Partai Aceh, Partai Sira, Partai Daerah Aceh, dan Partai Nanggroe Aceh. Lalu bagaimana dengan Papua?  amanat Otonomi Khusus Papua dalam UU No 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Pasal 28 ayat (1) berbunyi “Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik”. Namun 19 tahun Otsus ada di Papua, belum ada satupun Partai politik lokal yang diakui negara dan mengikuti kontestasi Pemilu. Sangat berbeda dengan yang terjadi di Provinsi Aceh, bahkan pada tahun 2020 ini Mahkama Konstitusi (MK) menolak pengujianmateri tentang partai lokal Papua.

Sungguh ironis, tidak hanya persoalan Partai Lokal, pendirian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagaimana terkandung dalam Bab XII pasal 45 dan 46 juga tidak kunjung didirikan. Padahal sudah 19 tahun otonomi khusus Papua berlaku, berbeda dengan Provinsi Aceh yang sudah memiliki Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Baru-baru ini MRP dan MRP-B (Majelis Rakyat Papua-Barat) yang hendak melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di berbagai wilayah adat di Papua, beberapa diantaranya justru dihalangi pihak keamanan, bahkan beberapa diantaranya sampai ada yang diborgol dengan dalih “keamanan”. Padahal MRP dan MRP-B sedang melaksanakan amanat otonomi khusus untuk mendengarkan pendapat rakyat yang menjadi sasaran langsung dari diberlakukannya UU No 21 Tahun 2001.

Ingatlah bahwa Otonomi Khusus Papua bukan hanya tentang uang, tetapi juga kebijakan! Karena otonomi khusus hadir sebagai solusi untuk meredam aspirasi kemerdekaan Papua, jika saat ini aspirasi tersebut masih lantang disuarakan, berarti ada yang tidak beres selama 19 tahun otonomi khusus ada di Papua.

Jika nasib buruk masyarakat adat diakibatkan oleh kegagalan Otonomi Khusus (Otsus), maka mengganti Otsus dengan Papua Merdeka adalah solusi. Tetapi, jika nasib buruk masyarakat adat di Tanah Papua disebabkan oleh leadership yang buruk, maka mengganti Otsus dengan Merdeka adalah ilusi.

Jika Otonomi Khusus tidak mampu menyelesaikan konflik di Papua, maka Referendum (Penentuan Nasib Sendiri) adalah solusi damai bagi Papua!

 

 

 

oleh    : Armandho C B Rumpaidus

 

Comments

  1. Salut Kondisi Real Otonomi Khusus itu tidak dirasakan oleh Rakyat Papua, yg menikmati adalah Pimpinan OPD dan bsgNya

    ReplyDelete
  2. Dengan Begitu Berikan Solusinya adalah REFRENDUM sbg Solusi yg tepat

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts