Masyarakat
Pribumi dan Tanah Airnya
Pulau
Papua atau Guinea baru bagian barat yang termasuk dalam wilayah administratif Republik
Indonesia dibagi menjadi 2 provinsi yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat, serta
terdapat 7 wilayah adat yakni Mamta, Saireri, Domberai, Bomberai, Anim Ha, La
Pago dan MeePago.
Masyarakat Pribumi atau biasa disebut orang
asli atau penduduk asli merupakan masyarakat yang merupakan keturunan penduduk
awal dari suatu tempat dan sudah membangun kebudayaannya di tempat tersebut
dengan status asli (indigenous)
sebagai kelompok etnis yang bukan merupakan pendatang dari daerah lainnya.
Masyarakat
adat Papua yang terdiri dari sekitar 250an suku dan bahasa daerah, dengan
jumlah suku dan bahasa daerah sebanyak itu menjadi kekayaan yang tidak ternilai,
apalagi dengan beraneka ragam kebudayaannya. Orang-orang asli Papua telah
mendiami wilayah-wilayah di Papua sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu,
sebelum Republik Indonesia berdiri. Mereka sudah memanfaatkan dan
menggantungkan sumber kehidupannya dari hasil-hasil alam sebagai sumber
kehidupannya mulai dari kebutuhan Sandang,Pangan dan Papan.
Kebutuhan
Sandang di masa lalu dapat dilihat seperti pakaian adat, suku-suku di Papua
rata-rata mengambil bahan baku pakaian berasal dari tanaman-tanaman di sekitar
mereka dan bulu hewan hasil buruan. Kebutuhan Papan untuk membuat rumah juga
demikian, rumah-rumah adat dibuat dari hasil-hasil alam secara gratis. Kebutuhan
pangan juga sudah pasti diambil dari alam sekitar mereka, entah dari
tanaman-tanaman maupun hewan piaraan dan hasil berburu.
Negara
Dan Masyarakat Adat Papua
Kita bersama tahu bahwa Proses masuknya Papua ke negara
kesatuan Republik Indonesia melalui sistem Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA)
pada tahun 1969. Sebuah proses yang memakai sistem keterwakilan bukan one man one vote, proses yang
menimbulkan pro dan kontra sampai saat ini. Namun bukan itu yang akan kita
bahas, yang akan kita bahas adalah kepentingan Negara “memanfaatkan” Papua yang
luas dan memiliki kekayaan alam melimpah namun jumlah populasi Orang Asli Papua
(OAP) yang tidak sebanding.
Salah satu fungsi negara adalah memajukan kesejahteraan
umum, atau secara simpelnya negara mensejahterakan rakyatnya bukan menyusahkan.
Seperti penjelasan diatas bahwa jumlah Populasi Orang Asli Papua yang tidak
sebanding dengan luas Papua sendiri menyebabkan pemerintah harus membuat
program transmigrasi untuk membawa orang-orang non Papua dari luar pulau Papua untuk
masuk dan tinggal menetap di Papua. Tidak hanya tinggal tetapi juga diberikan
lahan untuk digarap. Lahan atau tanah yang sebelumnya tidak mereka miliki di
daerah asal mereka namun lewat program transmigrasi, maka merekapun memiliki
rumah dan tanah di Papua. Sehingga negara berusaha mensejahterakan orang-orang
yang berasal dari luar Papua ini, atau memutihkan
orang Papua.
Pada tahun 1963, jumlah penduduk asli Papua masih 100
persen. Namun, dalam sensus 1971, jumlah penduduk asli Papua menjadi 96 persen
(923 ribu jiwa), sementara jumlah orang non-Papua sebesar 4 persen (36 ribu
jiwa). Pada sensus 2010, jumlah penduduk asli Papua sekitar 73,57 persen (2.121.436
jiwa), sementara pendatang 22,84 persen (658.708 jiwa). Lima kabupaten dengan
mayoritas non-Papua adalah Merauke (62,73%), Nabire (52,46%), Mimika (57,49),
Keerom (58,68%), dan kota Jayapura (65,09%). Ke-23 kabupaten lain di Papua dan
Papua Barat masih didominasi oleh orang asli Papua. Namun itu adalah data pada
tahun 2010, bagaimana dengan 2019?
Tidak hanya manusianya yang berkurang, tetapi tanah adat
yang sudah diakui turun-temurun juga mulai berkurang dengan alasan pembangunan
dan investasi oleh perusahaan-perusahaan yang membuat hutan-hutan dibabat
sampai habis. Bahkan hutan masyarakat adat Papua pun seakan tidak pernah
dipedulikan Negara! Coba sebut 1 saja hutan masyarakat adat di Papua yang
diakui negara? Belum ada satupun hutan adat masyarakat di Papua yang diakui
negara!
Padahal melalui putusan MK-35, Mahkama konstitusi
menetapkan, hutan adat tak lagi sebagai hutan negara. MK tegas menyatakan,
hutan adat bukan lagi hutan negara melainkan bagian dari hutan hak.
Dahulu
waktu masih usia kanak-kanak dan remaja kita pasti sering dilarang oleh
orang-orang dewasa untuk main ke hutan, gunung, atau suatu kawasan tertentu
karena dianggap sakral atau berbahaya (biasa dibilang ada penunggu). Namun
ketika kita beranjak dewasa, kawasan-kawasan yang dilarang orang tua-orang tua
dahulu sudah mulai hilang akibat dieksploitasi oleh manusia. Disini saya tidak
membahas tentang kepercayaan animisme atau kepercayaan kepada leluhur! Tapi
saya akan membahas tentang kawasan-kawasan lindung yang menopang ekosistem
kehidupan
Sebuah hutan
tempat dimana tumbuh hutan sagu, tempat hewan-hewan liar hidup, ketika ditebang
sampai habis untuk menjadi hutan HPL (Hak Pengelolaan) atau HGU (Hak Guna
Usaha). Maka, bisa dipastikan tidak ada lagi hutan sagu dan hewan-hewan yang
berkeliaran dan berdampak kepada manusia yang biasanya mengambil makanan dari
hutan tersebut. contoh kasus kalian bisa menonton film The Mahuze’s di Youtube
yang bercerita tentang Marga Mahuze yang berjuang mempertahankan tanah adat
mereka.
Beberapa kali
konflik tanah antara masyarakat dan perusahaan di Papua berujung pada kasus
dugaan pelanggaran HAM, salah satunya yang paling dikenal adalah kasus Wasior,
yang menewaskan empat warga sipil dan lima anggota Brimob pada tahun 2001. Kasus
konflik seperti ini adalah peristiwa Wasior setelah PT Vatika Papuana Perkasa,
perusahaan kayu di sana ditunding mengingkari kesepakatan dengan masyarakat
pemilik hak ulayat yang menyebabkan satu orang mengalami kekerasan seksual,
lima hilang dan 39 orang disiksan oknum Brimob.
Sampai sekarang,
kekerasan ini masih tercatat sebagai kasus dugaan pelanggarab HAM yang belum
diselesaikan pemerintah, padahal Komnas HAM sudag selesai melakukan investigasi
dan Kejaksaan Agung sudah menerima hasilnya.
Baru-baru ini juga kampanye
mempertahankan tanah adat dilakukan seorang pemuda Papua dengan cara yang
mengikuti perkembangan jaman, Januarius Sedik, seorang mahasiswa Yogyakarta
asal Tambrauw, Papua Barat menggagas petisi di laman Change.org untuk meminta
pemerintah mencabut izin perusahaan dari tanah adatnya di Kebar. Hingga saat
ini, petisi berjudul “Tolak Kebun yang Hancurkan Tanah Adat Kami di Kebar,
Tambrauw, Papua Barat” sudah ditandatangani hampir 55 ribu orang. Jan mengaku
memulai petisi ini setelah mendapat kabar dari kampung halamannya bahwa tanah
mereka dirampas dan hutannya dirusak.
Berikut kutipan dari petisinya:
“Nama saya Jan, Suku Mpur dari Kebar, Kabupaten
Tambrauw, Papua Barat dan saat ini berkuliah di Yogyakarta. Almarhum ayah saya
dan kebanyakan warga Tambrauw adalah petani, peramu dan berburu. Mungkin banyak
yang kira kehidupan ini ketinggalan zaman.
Tapi bagi kami, ini bagian dari hubungan kami
dengan alam. Kita jaga alam, alam beri kita makan. Hutan kami adalah ibu kami.
Itu semua terancam oleh PT Bintuni Agro Prima Perkasa
(PT BAPP). Mereka yang awalnya meminta izin warga adat untuk membuka kebun
jagung di padang rumput, ternyata sekarang beroperasi di hutan kami. Bahkan
dicurigai mulai menanam sawit“.
Apakah Tanah Papua Masih Kosong?
Jika dilihat dipeta tampak masih
banyak wilayah di tanah Papua yang kosong, tapi jangan salah. Wilayah-wilayah
tersebut sudah diberikan izin untuk investasi, sepanjang tahun 2017 pemerintah
menerbitkan izin-izin baru untuk perkebunan dan pertambangan. Untuk perkebunan,
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) memberikan izin pelepasan kawasan
hutan kepada 3 perusahaan perkebunan dan industri pangan, yakni PT Bangun Mappi
Mandiri di Kabupaten Mappi Juli 2017 seluas 18.006 hektar, PT.Agriprima Cipta
Persada di Kabupaten Merauke Juli 2017 sebanyak 6.200 hektar dan PT Menara
Wasior di Kabupaten Teluk Wondama pada September 2017 dengan luas 28880 hektar.
Jadi, total izin baru perkebunan sawit pada 2017 untuk 3 perusahaan adalah
53.806 hektar tanah di pulau Papua.
Buat
pertambangan, pemerintah menerbitkan izin baru kepada enam perusahaan pada
2017, yakni empat pertambangan di Papua, yakni, PT Wira Emas Persada di Nabire
seluas 1.242 hektar, PT Aurum Wira Persada di Nabire luas 13.880 hektar dan PT
Trident Global Garmindo dengan 17. 830 hektar, PT Madinah Qurrata’ain di
Dogiyai 23.340 hektar. Keempat perusahaan eksplorasi emas.
Dua perusahaan
di Papua Barat, yakni, PT Bayu Khatulistiwa Sejahtera di Manokwari, eskplorasi
emas, 7.741 hektar dan PT Dharma Nusa Persada seluas 20.805 hektar.
Pada Maret
2017, Menteri LHK juga membuat keputusan Nomor SK.172/Menlhk/Setjen/PLA.2/3/
2017, tentang perubahan alih fungsi hutan lindung Momi Anggi di Gunung Botak,
Manokwari Selatan, seluas 2.318 hektar. Peruntukannya, antara lain, jadi hutan
produksi konversi (HPK) 231 hektar dan hutan produksi terbatas (HPT) 2.100
hektar. Keputusan ini, katanya, diduga mengakomodasikan kepentingan
perusahaan tambang pasir kuarsa PT SDIC.
Selain itu,
pembongkaran dan penggusuran hutan untuk kepentingan perusahaan sawit dalam
jumlah cukup luas juga terjadi selama 2017. Perusahaan yang membongkar
dan penggusuran hutan untuk kebun sawit antara lain, PT Agriprima Persada Mulia
di Merauke, PT Kartika Cipta Pratama di Boven Digoel dan PT Permata
Putera Mandiri di Sorong Selatan.
Data diatas
merupakan data tahun 2017, bagaimana dengan izin-izin investasi yang baru
keluar pada tahun 2018 & 2019? Masihkah kalian anggap Papua Tanah Kosong? Padahal
tanah Papua didiami oleh manusia-manusia itu sendiri! Yang mungkin sebagian
dari kaum pribumi itu sekarang ini sudah tidak lagi memiliki tanah.
Bukan hanya
investasi perusahaan-perusahaan yang menjadi ancaman tetapi juga tanah
masyarakat pribumi yang dijadikan pangkalan-pangkalan militer.
Akibat
dari banyaknya investasi yang masuk ke Papua dan merampas tanah-tanah adat
adalah hilangnya ekosistem kehidupan seperti sebelumnya. Hutan sagu berganti
menjadi kebun kelapa sawit, berasnisasi membuat manusia Papua mulai melupakan
pangan lokal, dan semakin banyak pekerja migrant dari luar Papua yang membuat
orang asli Papua menjadi Minoritas diatas tanahnya sendiri. Tidak cukup sampai disitu, setiap masyarakat
yang melawan dan menuntut keadilan akan dibungkam seperti yang terjadi di
beberapa tempat di Papua.
Solusi
1. Investasi
yang masuk ke Papua harus mendapatkan persetujuan berdasarkan musyawarah antara
pemerintah Daerah, Tokoh Agama dan Tokoh adat
2. Tanah
adalah mama bagi orang Papua, jual tanah sama saja jual mama. Jadi, orang Papua
stop jual tanah untuk dapat uang! Tapi olah tanah untuk hasilkan uang!
3. Kewenangan
Otonomi Khusus Papua harus dihormati pemerintah pusat
4. Pemerintah
pusat harus mengkaji setiap izin investasi apa dampaknya bagi masyarakat adat.
5. Jika
semua solusi tidak dipedulikan pemerintah, dan pemerintah tidak mau
memperhatikan masyarakat adat. maka hanya ada 1 kata LAWAN!
Tanahku adalah luka busuk negara, luka
yang dibungkus suara-suara sengsara
Dulu surga kecil yang jatuh ke bumi,
sekarang ia terlantar akan darahnya pribumi
Selamat hari masyarakat Pribumi Se-Dunia
#PapuaBukanTanahKosong
kenapa ada yang begini di negara ku indonesia tercinta? apa yang salah ? apakah para pemimpinnya? apakah para rakyatnya?. siapakah yang harus di benahi agar indonesia menjadi makmur sentosa jaya merdeka, tanpa ada kesengsaraan dan lain sebagainya? Terimakasih min telah membagi artikel tentang tanahku adalah luka busuk negara, salam dari webillian
ReplyDeletetest
ReplyDelete