Skip to main content

Featured

Catatan Carlyno #1

  Mereka yang memiliki otoritas sengaja memelihara konflik dan membuat orang Papua dengan orang Papua sendiri saling membunuh, saling membenci, saling mendengki. Orang Papua tidak dipunahkan secara eksternal tetapi juga internal, pembiaran ini akan berdampak sampai dimana konflik antar sesama orang Papua. Lalu mereka yang menciptakan dan memelihara konflik akan dengan santainya menjual isu ke dunia luar bahwa mereka hadir sebagai pembawa kedamaian. Orang-orang tidak akan lagi melihat akar konflik, tidak akan lagi menarik benang merah konflik. Tetapi akan langsung mengambil sebuah kesimpulan, tentang tragedi berdarah yang tercipta tanpa penyelesaian yang terarah ke perdamaian. Andholyno

ORANG ASLI PAPUA DALAM IDEOLOGI GANDA



            Orang asli Papua (OAP) adalah orang-orang yang bangga memakai identitas Papua, mereka adalah orang-orang yang nenek moyangnya telah mendiami tanah Papua sejak ribuan tahun lalu. Orang Asli Papua identik dengan berambut keriting dan berkulit gelap, namun dengan adanya perkawinan campur dengan kaum dari luar maka kini Orang Papua tidak lagi hanya identik dengan berambut keriting dan berkulit gelap. Ada juga orang-orang asli Papua yang meskipun kedua orangtuanya asli Papua tanpa perkawinan campur tetapi anak-anaknya berkulit terang, tetapi bukan soal warna kulit dan jenis rambut yang mau kita bahas disini!.
            Orang Papua telah hidup bersama dalam bingkai NKRI sejak 1 Mei 1963 (bukan 17 Agustus 1945) melalui sebuah proses aneksasi (bagi mayoritas orang Papua) dan integrasi (bagi NKRI). 57 tahun hidup bersama namun kesenjangan masih sangat dirasakan oleh orang-orang Papua, mereka bagaikan anak tiri di dalam rumah Nusantara yang luas. Setelah Belanda diusir dari Papua lewat operasi Trikora pada 19 Desember 1961, kemudian lewat jajak pendapat atau Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada 1969 yang hasilnya 100% memilih bergabung bersama Indonesia, orang-orang Papua yang sebelumnya telah memiliki embrio negara sendiri pada 1 Desember 1961 sebagai Negara Papua Barat dipaksa harus tunduk ke pemerintahan Republik Indonesia hingga saat ini. Penggabungan secara paksa itu menimbulkan rasa sakit hati dimayoritas orang Papua jaman itu, ada yang memilih berjuang dengan senjata di hutan, ada juga yang lari ke negara lain mencari suaka karena tidak aman di negeri sendiri, ada yang tetap tinggal di tanah Papua tetapi tidak beraktivitas politik, ada pula yang menjadi kaki-tangan pemerintah Indonesia guna mendapatkan jabatan.
            Disini orang Papua awalnya telah memiliki ideologi Papua, mereka bangga menjadi bangsa Papua. Namun kemudian dengan datangnya Republik Indonesia mencaplok wilayah Papua Barat (kini Provinsi Papua & Papua Barat) maka ada satu ideologi lagi yang dipaksakan kepada orang-orang Papua, yakni Ideologi Pancasila dengan slogannya “NKRI Harga Mati”. Maka secara langsung orang Papua hidup dalam 2 ideologi yakni Ideologi Pancasila dan ideologi Bangsa Papua. 
            Ideologi Pancasila diajarkan secara langsung di sekolah-sekolah tempat anak-anak Papua mendapatkan pendidikan formal, melalui pelajaran kewarganegaraan (PPKn) dan bahasa Indonesia  maupun saat upacara bendera setiap hari senin pagi. Juga melalui nyanyian-nyanyian kebangsaan seperti Indonesia raya, bagimu negeri, dari sabang sampai merauke,dll. Ideologi Bangsa Papua juga diajarkan secara langsung melalui cerita-cerita orang tua, ataupun secara tidak langsung merasakan ketidakadilan maupun kesenjangan yang terjadi antara orang asli Papua dengan pendatang di tanah Papua. Dua ideologi ini hidup dan tumbuh bersama dalam diri orang Papua dari sejak Papua bergabung dengan Indonesia hingga saat ini, anda bisa melihatnya di tangan orang-orang Papua lewat gelang Bintang Kejora yang mereka gunakan, atau di noken yang biasa dibuat oleh para wanita Papua. Lebih inovasi lagi ada dalam gambar di baju ataupun tas dan sepatu, tidak sampai disitu adapula stiker-stiker bercorak bintang kejora. Itu bukan hanya sekedar kiasan, tetapi menjadi makna bahwa orang-orang Papua mempunyai jati diri tersendiri yang berbeda di nusantara. Orang Papua lebih menganggap Bintang Kejora sebagai identitas asli mereka, bukan identitas paksaan.
            Nasionalisme ganda itu membuat orang Papua tidak bisa menikmati hidupnya dengan bebas, ada rasa ketakutan mendalam jika mereka berani menyatakan ideologinya secara terang-terangan. Tuduhan separatis dan pasal Makar telah menanti serta dicap pembangkang terhadap negara sudah jelas akan mereka terima, contohnya seperti pengibaran bendera bintang kejora secara damai oleh Filep Karma di menara air dekat pelabuhan laut Biak pada 6 Juli 1998 yang dibubarkan secara paksa oleh militer Indonesia. Ketika orang-orang Papua di Biak begitu bersemangat dengan berkibarnya Bendera Bintang Kejora, namun sayang tindakan brutal militer yang menurut Komnas HAM ada 8 korban tewas, 3 hilang, luka berat 4 orang yang sempat dievakuasi ke Makassar, Sulawesi Selatan, luka 33 orang, penahanan sewenang-wenang dan penyiksaan 50 orang dan mayat misterius 32 orang. Hal ini membuat ada dendam dan ketakutan yang mendalam oleh orang-orang Papua atas tindakan negara yang telah merampas ideologi mereka, ketakutan dan dendam itu diceritakan kepada generasi selanjutnya sehingga dendam dan ketakutan tersebut tetap terjaga dalam diri orang Papua. Begitu pula dengan ideologi Bangsa Papua yang tetap terjaga dalam sanubari generasi ke generasi, meskipun berbagai cara meng-Indonesiakan Papua telah dilakukan tetapi tetap saja gagal membungkam suara-suara merdeka dari tanah Papua. Kasus Biak Berdarah hanyalah satu diantara banyaknya peristiwa serupa di tanah Papua, hari ini Egianus Kogoya berperang di Ndugama bukan karena baru terdoktrin, tetapi karena dendam lama yang ia saksikan dari kasus mapenduma berdarah di tahun 1996.
            Orang Papua selama ini hidup dalam dua ideologi, jangan heran ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan dan Sang Saka merah putih dinaikan akan ada orang Papua yang tidak bernyanyi bahkan tidak mengangkat tangan kanan memberi hormat. Atau yang lebih jelas ada nyanyian “kami bukan merah putih, kami bukan merah putih, kami bintang kejora.. bintang kejora.. baru-baru ko bilang merah putih” itu memang hanya nyanyian, tetapi liriknya menceritakan ada pemaksaaan ideologi dan nasionalisme terhadap orang Papua.
            Pada tahun awal tahun 2006 bahkan lebih dari 40 warga Papua berlayar menggunakan perahu tradisional untuk meminta suaka ke Australia, mereka pergi karena merasa nyawa mereka terancam jika tetap tinggal di Papua dalam bayang-bayang Indonesia. Ini menandakan bahwa ideologi Bangsa Papua tetap mereka pertahankan dan tidak mau “dipaksa terus-terusan” mengikuti ideologi pancasila. Jika kita lihat di pertengahan tahun 2019 dimana terjadi kasus rasisme kepada orang Papua di Surabaya, Papua langsung bergelora dimana-mana bagaikan bom waktu yang tiba-tiba meledak. Apakah tuntutan utamanya mengadili pelaku rasis? Tidak! Tuntutan rakyat Papua saat itu adalah segera laksanakan referendum. Teriakan “Papua Merdeka” yang biasanya terdengar hanya saat demonstrasi-demonstrasi organ pergerakan saat itu menjadi milik semua orang dari segala golongan, bom waktu itu meledak menandakan bahwa nasionalisme ganda orang Papua itu tetap bertahan bahkan setelah setengah abad Papua bergabung ke pangkuan ibu pertiwi. Manokwari, Sorong, Timika, Deiyai, Fakfak, Sorong Selatan meledak secara dhasyat hingga kemarahan dan dendam orang-orang Papua melebihi ketakutan mereka. Jayapura yang sukses dengan aksi yang berjalan damai, aman dan lancar itu langsung diputuskan jaringan data selulernya saat masa masih berada dikantor Gubernur Provinsi Papua. Menandakan ada suatu ketakutan negara terhadap ideologi mendasar yang terbangun secara alamiah pada orang Papua, sebaliknya bagaimana dengan ideologi pancasila? 19 agustus 2019 ketika masa aksi yang berjalan damai memasuki kantor Gubernur Provinsi Papua tampak tiang bendera sudah kosong tanpa sang saka merah putih, padahal masih jam kantor. Di Sorong Papua Barat dalam demo damai masyarakat Sorong raya justru melakukan pengembalian bendera merah putih secara simbolis ke pemerintah, hal ini tentu saja menunjukkan bahwa bayang-bayang nasionalisme ganda orang Papua akan terus terawat jika pemerintah pusat tidak serius menanggapi permasalahan-permasalahan di tanah Papua.
            Apa saja akar masalah di Papua? LIPI telah merumuskannya menjadi 4 yakni
1)      Masalah sejarah dan status politik Integrasi/Aneksasi Papua ke Indonesia. Orang-orang Papua belum merasa integrasi ke Indonesia dilakukan dnegan benar.
2)      Kekerasan dan pelanggaran HAM yang berlangsung di Papua dari 1965 (bisa saja sebelum 1965) melalui operasi militer nyaris tak ada pertanggungjawaban dari negara.
3)      Perasaan terdiskriminasi dan termarjinalkan yang diakibatkan oleh penyingkiran orang-orang Papua dalam rumusan pembangunan di tanah mereka.
4)      Kegagalan pembangunan di Papua itu sendiri yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.

Hal ini juga merupakan jawaban kenapa orang Papua hidup dalam ideologi dan Nasionalisme ganda, orang-orang diluar Papua mungkin menganggap bahwa pembangunan jalan dan infratruktur lainnya adalah sesuatu yang besar dan megah mampu meredam “doa hati kecil” orang Papua untuk merdeka. Tapi sebenarnya tidak, karena jalan dan jembatan tidak dapat menggantikan nyawa yang direbut paksa sejak 1960-an sampai sekarang, begitu juga dengan ideologi Bangsa Papua Barat, tidak dapat digantikan dengan jalan maupun jembatan apalagi dana otsus.

Comments

  1. Apa itu ideologi?
    Pancasila adalah ideology bangsa Indonesia. Lalu apa ideology bangsa Papua. Papua bukan ideologi. Papua adalah nama bangsa. Seperti contoh: di Indonesia itu mengenal semboyan Bhineka tunggal ika artinya berbeda beda tetapi satu jua dan ideologi negara adalah Pancasila. Sementara itu Papua memiliki semboyan one people one soul yang artinya sejiwa sebangsa dan ideologi bangsa Papua yang masih..... finalized.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts