Orang asli Papua (OAP) adalah orang-orang yang bangga
memakai identitas Papua, mereka adalah orang-orang yang nenek moyangnya telah
mendiami tanah Papua sejak ribuan tahun lalu. Orang Asli Papua identik dengan
berambut keriting dan berkulit gelap, namun dengan adanya perkawinan campur
dengan kaum dari luar maka kini Orang Papua tidak lagi hanya identik dengan
berambut keriting dan berkulit gelap. Ada juga orang-orang asli Papua yang
meskipun kedua orangtuanya asli Papua tanpa perkawinan campur tetapi
anak-anaknya berkulit terang, tetapi bukan soal warna kulit dan jenis rambut
yang mau kita bahas disini!.
Orang Papua telah hidup bersama dalam bingkai NKRI sejak 1
Mei 1963 (bukan 17 Agustus 1945) melalui sebuah proses aneksasi (bagi mayoritas
orang Papua) dan integrasi (bagi NKRI). 57 tahun hidup bersama namun
kesenjangan masih sangat dirasakan oleh orang-orang Papua, mereka bagaikan anak
tiri di dalam rumah Nusantara yang luas. Setelah Belanda diusir dari Papua
lewat operasi Trikora pada 19 Desember 1961, kemudian lewat jajak pendapat atau
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada 1969 yang hasilnya 100% memilih
bergabung bersama Indonesia, orang-orang Papua yang sebelumnya telah memiliki
embrio negara sendiri pada 1 Desember 1961 sebagai Negara Papua Barat dipaksa
harus tunduk ke pemerintahan Republik Indonesia hingga saat ini. Penggabungan secara
paksa itu menimbulkan rasa sakit hati dimayoritas orang Papua jaman itu, ada
yang memilih berjuang dengan senjata di hutan, ada juga yang lari ke negara
lain mencari suaka karena tidak aman di negeri sendiri, ada yang tetap tinggal
di tanah Papua tetapi tidak beraktivitas politik, ada pula yang menjadi
kaki-tangan pemerintah Indonesia guna mendapatkan jabatan.
Disini orang Papua awalnya telah memiliki ideologi Papua,
mereka bangga menjadi bangsa Papua. Namun kemudian dengan datangnya Republik
Indonesia mencaplok wilayah Papua Barat (kini Provinsi Papua & Papua Barat)
maka ada satu ideologi lagi yang dipaksakan kepada orang-orang Papua, yakni
Ideologi Pancasila dengan slogannya “NKRI Harga Mati”. Maka secara langsung
orang Papua hidup dalam 2 ideologi yakni Ideologi Pancasila dan ideologi Bangsa
Papua.
Ideologi Pancasila diajarkan secara langsung di
sekolah-sekolah tempat anak-anak Papua mendapatkan pendidikan formal, melalui
pelajaran kewarganegaraan (PPKn) dan bahasa Indonesia maupun saat upacara bendera setiap hari senin
pagi. Juga melalui nyanyian-nyanyian kebangsaan seperti Indonesia raya, bagimu
negeri, dari sabang sampai merauke,dll. Ideologi Bangsa Papua juga diajarkan
secara langsung melalui cerita-cerita orang tua, ataupun secara tidak langsung
merasakan ketidakadilan maupun kesenjangan yang terjadi antara orang asli Papua
dengan pendatang di tanah Papua. Dua ideologi ini hidup dan tumbuh bersama
dalam diri orang Papua dari sejak Papua bergabung dengan Indonesia hingga saat
ini, anda bisa melihatnya di tangan orang-orang Papua lewat gelang Bintang
Kejora yang mereka gunakan, atau di noken yang biasa dibuat oleh para wanita
Papua. Lebih inovasi lagi ada dalam gambar di baju ataupun tas dan sepatu,
tidak sampai disitu adapula stiker-stiker bercorak bintang kejora. Itu bukan
hanya sekedar kiasan, tetapi menjadi makna bahwa orang-orang Papua mempunyai
jati diri tersendiri yang berbeda di nusantara. Orang Papua lebih menganggap
Bintang Kejora sebagai identitas asli mereka, bukan identitas paksaan.
Nasionalisme ganda itu membuat orang Papua tidak bisa
menikmati hidupnya dengan bebas, ada rasa ketakutan mendalam jika mereka berani
menyatakan ideologinya secara terang-terangan. Tuduhan separatis dan pasal
Makar telah menanti serta dicap pembangkang terhadap negara sudah jelas akan
mereka terima, contohnya seperti pengibaran bendera bintang kejora secara damai
oleh Filep Karma di menara air dekat pelabuhan laut Biak pada 6 Juli 1998 yang
dibubarkan secara paksa oleh militer Indonesia. Ketika orang-orang Papua di
Biak begitu bersemangat dengan berkibarnya Bendera Bintang Kejora, namun sayang
tindakan brutal militer yang menurut Komnas HAM ada 8 korban tewas, 3 hilang,
luka berat 4 orang yang sempat dievakuasi ke Makassar, Sulawesi Selatan, luka
33 orang, penahanan sewenang-wenang dan penyiksaan 50 orang dan mayat misterius
32 orang. Hal ini membuat ada dendam dan ketakutan yang mendalam oleh
orang-orang Papua atas tindakan negara yang telah merampas ideologi mereka, ketakutan
dan dendam itu diceritakan kepada generasi selanjutnya sehingga dendam dan
ketakutan tersebut tetap terjaga dalam diri orang Papua. Begitu pula dengan
ideologi Bangsa Papua yang tetap terjaga dalam sanubari generasi ke generasi,
meskipun berbagai cara meng-Indonesiakan Papua telah dilakukan tetapi tetap
saja gagal membungkam suara-suara merdeka dari tanah Papua. Kasus Biak Berdarah
hanyalah satu diantara banyaknya peristiwa serupa di tanah Papua, hari ini
Egianus Kogoya berperang di Ndugama bukan karena baru terdoktrin, tetapi karena
dendam lama yang ia saksikan dari kasus mapenduma berdarah di tahun 1996.
Orang Papua selama ini hidup dalam dua ideologi, jangan
heran ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan dan Sang Saka merah putih
dinaikan akan ada orang Papua yang tidak bernyanyi bahkan tidak mengangkat
tangan kanan memberi hormat. Atau yang lebih jelas ada nyanyian “kami bukan
merah putih, kami bukan merah putih, kami bintang kejora.. bintang kejora..
baru-baru ko bilang merah putih” itu memang hanya nyanyian, tetapi liriknya
menceritakan ada pemaksaaan ideologi dan nasionalisme terhadap orang Papua.
Pada tahun awal tahun 2006 bahkan lebih dari 40 warga
Papua berlayar menggunakan perahu tradisional untuk meminta suaka ke Australia,
mereka pergi karena merasa nyawa mereka terancam jika tetap tinggal di Papua
dalam bayang-bayang Indonesia. Ini menandakan bahwa ideologi Bangsa Papua tetap
mereka pertahankan dan tidak mau “dipaksa terus-terusan” mengikuti ideologi
pancasila. Jika kita lihat di pertengahan tahun 2019 dimana terjadi kasus
rasisme kepada orang Papua di Surabaya, Papua langsung bergelora dimana-mana
bagaikan bom waktu yang tiba-tiba meledak. Apakah tuntutan utamanya mengadili
pelaku rasis? Tidak! Tuntutan rakyat Papua saat itu adalah segera laksanakan
referendum. Teriakan “Papua Merdeka” yang biasanya terdengar hanya saat
demonstrasi-demonstrasi organ pergerakan saat itu menjadi milik semua orang
dari segala golongan, bom waktu itu meledak menandakan bahwa nasionalisme ganda
orang Papua itu tetap bertahan bahkan setelah setengah abad Papua bergabung ke
pangkuan ibu pertiwi. Manokwari, Sorong, Timika, Deiyai, Fakfak, Sorong Selatan
meledak secara dhasyat hingga kemarahan dan dendam orang-orang Papua melebihi
ketakutan mereka. Jayapura yang sukses dengan aksi yang berjalan damai, aman
dan lancar itu langsung diputuskan jaringan data selulernya saat masa masih
berada dikantor Gubernur Provinsi Papua. Menandakan ada suatu ketakutan negara
terhadap ideologi mendasar yang terbangun secara alamiah pada orang Papua,
sebaliknya bagaimana dengan ideologi pancasila? 19 agustus 2019 ketika masa
aksi yang berjalan damai memasuki kantor Gubernur Provinsi Papua tampak tiang
bendera sudah kosong tanpa sang saka merah putih, padahal masih jam kantor. Di Sorong
Papua Barat dalam demo damai masyarakat Sorong raya justru melakukan
pengembalian bendera merah putih secara simbolis ke pemerintah, hal ini tentu
saja menunjukkan bahwa bayang-bayang nasionalisme ganda orang Papua akan terus terawat
jika pemerintah pusat tidak serius menanggapi permasalahan-permasalahan di
tanah Papua.
Apa saja akar masalah di Papua? LIPI telah merumuskannya
menjadi 4 yakni
1)
Masalah sejarah dan status politik
Integrasi/Aneksasi Papua ke Indonesia. Orang-orang Papua belum merasa integrasi
ke Indonesia dilakukan dnegan benar.
2)
Kekerasan dan pelanggaran HAM yang
berlangsung di Papua dari 1965 (bisa saja sebelum 1965) melalui operasi militer
nyaris tak ada pertanggungjawaban dari negara.
3)
Perasaan terdiskriminasi dan
termarjinalkan yang diakibatkan oleh penyingkiran orang-orang Papua dalam
rumusan pembangunan di tanah mereka.
4)
Kegagalan pembangunan di Papua itu
sendiri yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.
Hal ini juga merupakan jawaban
kenapa orang Papua hidup dalam ideologi dan Nasionalisme ganda, orang-orang
diluar Papua mungkin menganggap bahwa pembangunan jalan dan infratruktur
lainnya adalah sesuatu yang besar dan megah mampu meredam “doa hati kecil”
orang Papua untuk merdeka. Tapi sebenarnya tidak, karena jalan dan jembatan
tidak dapat menggantikan nyawa yang direbut paksa sejak 1960-an sampai
sekarang, begitu juga dengan ideologi Bangsa Papua Barat, tidak dapat
digantikan dengan jalan maupun jembatan apalagi dana otsus.
Apa itu ideologi?
ReplyDeletePancasila adalah ideology bangsa Indonesia. Lalu apa ideology bangsa Papua. Papua bukan ideologi. Papua adalah nama bangsa. Seperti contoh: di Indonesia itu mengenal semboyan Bhineka tunggal ika artinya berbeda beda tetapi satu jua dan ideologi negara adalah Pancasila. Sementara itu Papua memiliki semboyan one people one soul yang artinya sejiwa sebangsa dan ideologi bangsa Papua yang masih..... finalized.