Skip to main content

Featured

Cerita Perjalanan: Sorong-Pomako (Bagian 1)

 120 JAM Berlayar Bersama Sabuk Nusantara 75 Rabu sore (28/8) usai berkunjung ke keluarga di pulau Doom, saya lalu mampir untuk makan es pisang ijo di belakang kantor PLN Kota Sorong. Kebetulan yang menjualnya adalah teman lama saya saat bekerja di Tambrauw, namanya Noritha Fentiana Murafer. Usai menyantap 2 porsi es pisang ijo saya langsung pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah, saya lalu membereskan barang-barang kedalam 2 ransel "teman hidup" saya. Kemudian makan dan mandi, setelah beres saya lalu berpamitan dan menuju ke pelabuhan menggunakan angkutan umum. Saat sampai di pelabuhan sekitar jam 7.30 malam, ternyata kapal belum masuk. Saya akan berlayar menggunakan KM. Sabuk Nusantara 75 dari Sorong ke Pomako (Mimika). Pelayaran ini memiliki rute Sorong-Yellu- Bula- Geser- Goram- Fakfak- Karas- Kaimana- Lobo- Pomako. Artinya kami akan menyinggahi 8 pemberhentian sebelum sampai ke pelabuhan tujuan saya. Setelah menunggu beberapa saat, tidak lama kemudian kapal pun sandar

KRIBO HITAM (KERING BOTAK ATAU HIJAU TAMPAK MANIS)





Papua merupakan benteng terakhir hutan Indonesia, menurut data Provinsi Papua pada Januari 2018 menyebutkan bahwa luas hutan Papua sekitar 8.621.799,707 Ha yang terdiri dari hutan lahan kering primer sebesar 16.034.266,437 Ha, hutan rawa primer seluas 4.940.145,353 Ha dan daerah rawa seluas 7.647.387,917 Ha. Hutan atau alam bagi masyarakat Papua sejak dahulu merupakan sumber kehidupan sehari-hari.
Hutan yang sudah menjadi sumber kehidupan masyarakat Papua ini memang merupakan tempat masyarakat mendapatkan makanan dari tumbuh-tumbuhan maupun hewan-hewan yang hidup dihutan. Selain memenuhi pangan, juga memenuhi sandang masyarakat Papua dimana hampir sebagian besar pakaian adat masyarakat Papua berasal dari hutan. Tidak hanya sandang dan pangan tapi juga Papan, orang Papua sejak dahulu kala telah mengambil bahan pembuatan tempat tinggal atau rumah dari hutan atau alam, itu terlihat dari rumah-rumah adat masyarakat Papua dari Sorong sampai Merauke semuanya menggunakan bahan dari hutan.
Hutan Papua yang luas bagaikan menjadi primadona sekaligus benteng tangguh yang susah ditaklukan, sepanjang mata memandang pasti hijau-hijau yang ada terlihat. Cerita turun-temurun di masyarakatpun banyak yang menganggap hutan sebagai sesuatu yang sangat istimewah bahkan sakral, sebagai contoh ada daerah-daerah yang dianggap sebagai hutan keramat atau mitos-mitos ada penunggunya. Ini menandakan bahwa sejak jaman dahulu hingga saat ini hutan dan masyarakat Papua saling bergantung antara satu sama lainnya. Namun sayang, kini cerita-cerita tentang hutan yang indah atau hijau mulai terkikis.
Akhir-akhir ini sering terdengar kampanye lindungi hutan adat, atau ada juga stop deforestasi di Papua! Sebenarnya apa itu Deforestasi? Namun sebelum membahas Deforestasi kita tengong sejenak tentang hutan sagu di Papua. Pernah makan Papeda? Ya, makanan yang biasa dihidangkan bersama ikan kuah ini begitu nikmat dan merupakan makanan pokok bagi masyarakat Papua di kawasan pesisir dan dataran rendah Papua. Namun tahukah anda bahwa hutan sagu mulai berkurang di Papua oleh semakin banyaknya pembangunan yang harus mengorbankan habitat tempat pohon sagu tumbuh, nah Deforestasi sendiri adalah proses penghilangan hutan alam dengan cara penebangan untuk diambil kayunya atau mengubah peruntukan lahan hutan menjadi non-hutan. Bisa juga disebabkan oleh kebakaran hutan baik yang disengaja atau terjadi secara alami ( menurut jurnalbumi.com).
Yang paling Nampak di Papua adalah pengalihan alih fungsi hutan dari hutan alami menjadi perkebunan kelapa sawit, biasanya perusahaan-perusahaan kelapa sawit menebang pohon-pohon di hutan lalu kayunya dijual dan setelah itu lahan yang sudah menjadi tanah kosong dijadikan perkebunan kelapa sawit. Padahal justru sisi negatif dari kelapa sawit lebih berbahaya Pembukaan lahan secara besar-besaran untuk perkebunan Sawit, menjadi penyebab kurangnya pepohonan besar akibat pembukaan lahan menyebabkan habitat ekosistem hutan terancam punah, tanah kekurangan unsur hara (Kalium, Sulfur, Kalsium, Magnesium, Besi, Boron, Tembaga, Mangan, dan unsur lainnya), pembukaan lahan melalui pembakaran menjadi sumber asap luar biasa yang mempengaruhi kesehatan manusia bahkan terjadi berbagai masalah lainnya. Selain itu, Kelapa Sawit merupakan tumbuhan monokotil, berakar serabut, menyerap air tidak seoptimal tumbuhan dikotil. Artinya tumbuhan Kelapa Sawit tidak mampu menyimpan air sehingga bila terjadi hujan, penyebab banjir dan longsor.
 Selain itu penebangan pohon di hutan tanpa dilakukan reboisasi (penanaman kembali) juga sangat berbahaya, apalagi jika itu adalah penebangan liar (illegal loging). Atau juga pembakaran lahan untuk dijadikan kebun oleh masyarakat karena dengan membakar lahan lebih mudah dan cepat untuk dibuatkan kebun. Pemahaman-pemahaman inilah yang nantinya membuat hutan kita menjadi KRIBO (Kering Botak) atau gundul tanpa ada lagi hijau-hijaunya.
Ini menjadi tanggung jawab siapa? Ini harus menjadi tanggung jawab kita semua untuk peduli terhadap hutan dan terus mengedukasi pentingnya hutan bagi sesame kita dimana saja khususnya di Papua agar hutan kita tetap HITAM (Hijau Tampak Manis).

“Kita tidak akan memiliki masyarakat bila kita merusak lingkungan.” (Margaret Mead-Antropolog dari Amerika)





catatan: singkatan KRIBO HITAM diambil dari BENTARA PAPUA

Comments

Post a Comment

Popular Posts