Skip to main content

Featured

Cerita Perjalanan: Sorong-Pomako (Bagian 1)

 120 JAM Berlayar Bersama Sabuk Nusantara 75 Rabu sore (28/8) usai berkunjung ke keluarga di pulau Doom, saya lalu mampir untuk makan es pisang ijo di belakang kantor PLN Kota Sorong. Kebetulan yang menjualnya adalah teman lama saya saat bekerja di Tambrauw, namanya Noritha Fentiana Murafer. Usai menyantap 2 porsi es pisang ijo saya langsung pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah, saya lalu membereskan barang-barang kedalam 2 ransel "teman hidup" saya. Kemudian makan dan mandi, setelah beres saya lalu berpamitan dan menuju ke pelabuhan menggunakan angkutan umum. Saat sampai di pelabuhan sekitar jam 7.30 malam, ternyata kapal belum masuk. Saya akan berlayar menggunakan KM. Sabuk Nusantara 75 dari Sorong ke Pomako (Mimika). Pelayaran ini memiliki rute Sorong-Yellu- Bula- Geser- Goram- Fakfak- Karas- Kaimana- Lobo- Pomako. Artinya kami akan menyinggahi 8 pemberhentian sebelum sampai ke pelabuhan tujuan saya. Setelah menunggu beberapa saat, tidak lama kemudian kapal pun sandar

Ketidaksadaran Lingkungan Berujung Kehancuran




Karya: Greesia Kristalia Kissya

Semua berawal dari kecintaan akan alam papua dimana keindahan itu dinikmati sepanjang jauh mata memandang. Ketika doa dari sebuah  harapan terwujud  perjalanan yang ditempuh sekitar 4 – 6 jam, memang membuat kita menjadi lelah. Namun ketika menginjakkan kaki ditempat ini, iya nama tempat ini Pegunungan Arfak lebih tepatnya kampung kocstera,distrik sururey kalian akan terpukau dengan keindahan alam yang masih asri dan masyarakat yang sangat welcome dengan kedatangan kami di tempat ini.

Cerita ini dimulai ketika kami harus berbaur dan belajar dari masyarakat yang mempunyai kehidupan yang berbeda. Namun, kami diterima baik oleh masyarakat dimana tempat kami tinggal dirumah milik anak dari kepala adat kampung kocstera bapa Edi Towansiba dan Mama Marica pelukan hangat kami rasakan ketika mereka menganggap kami seperti anak sendiri tanpa membeda-bedakan satu sama lain.

Waktu terus berlalu dan saya berjalan untuk menikmati indahnya kampung. Pengamatan pun dimulai ketika informasi yang di dapat bahwa MCK umum hanya disediakan 1, sedangkan MCK  milik pribadi hanya 2. Hal ini yang membuat  saya menjadi kesal dengan situasi seperti ini, bayangkan saja dengan banyaknya penduduk MCK umum hanya 1.  Kira-kira apa yang dilakukan dengan masyarakat jika tengah malam ingin ke MCK dengan jarak tempuh yang jauh?.hal ini membuat saya menjadi bertanya-tanya dan pada akhirnya, saya memberanikan diri untuk menanyakan hal tersebut. Ketika ditanya ‘bapa kalau kita mau buang air dimana? Jawab bapa ‘ kalau mau itu, langsung di kali belakang rumah saja’  Hal ini membuat saya menjadi miris melihat kebiasaan masyarakat yang menurut pandangan saya itu adalah hal tdk seharusnya dilakukan. Kenapa demikian?  Karena, terjadinya pencemaran lingkungan pada aliran sungai kecil yang berada dekat pemukiman warga. Aliran sungai tersebut pastinya akan terbawa sampai ke danau dan pastinya pencemaran tersebut menjadi lebih luas lagi.

Selain itu, berbicara tentang air saya sangat terpukau melihat air yg keluar lewat pancuran dan langsung diminum. Hal ini seperti ini tdk terjadi di daerah perkotaan namun, pipa saluran yang digunakan sungguh membuat saya marah. Pipa yang digunakan adalah pipa plastic, bukanlah pipa standar SNI yang digunakan untuk minum. Saya pun mengajak anak-anak kampung untuk melihat bak penampungan dari pancuran air tersebut. Sesampai di bak penampungan, yang membuat saya lebih prihatin adalah bak penampungan air sangat kecil dan hanya dalam sekitar 40 cm dan itu membuat saya semakin marah dengan kondisi tersebut.

Setelah itu saya pun membantu kembali dan membantu mama dikebun mencari ubi jalar atau yang biasanya masyarakat papua menyebutnya petatas. Kami pulang kerumah membawa hasil kebun  memasak dan memakannya.

Keesokan harinya menikmati indahnya mentari pagi,semangat melangkahkan kaki dengan gembira menikmati setiap proses yang ada. Namun, ketika melewati jalan dan sampai di kali/sungai-sungai kecil banyaknya sampah yang berserakan. Dimulai dengan sampah bekas deterjen, sisa makanan dan sampah plastic lainnya, sungguh membuat saya semakin marah. Tidak adanya kesadaran dari masyarakat betapa pentingnya edukasi lingkungan.

Ketika kita melihat   kembali pada konteks lingkungan hutan yang menjadi sumber utama dari kehidupan masyarakat sudah mulai terancam dengan pembukaan lahan yang dibakar sehingga mengakibatkan debit air yang menurun dan dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat setempat. Mungkin bukan sekarang namun, 5-10 tahun  ke depan dampaknya  akan dirasakan.
Saya sempat berpikir dan mencoba mengamati yang terjadi, kemana dana-dana pembangunan desa?, mengapa masyarakat tidak merasakan hal-hal yang sangat sederhana seperti MCK, sanitasi air bersih dll. Bagaimana kebijakan pemerintah dalam mengatasi hal tersebut?.

Namun, hal tersebut bukan hanya menjadi tanggung pemerintah tetapi menjadi tanggung jawab dari masyarakat yang berada di kampung tersebut. bagaimana masyarakat mampu mengolah lingkungan yang ada dengan tetap menjaga keasrian dan keindahan alam. Dengan cara meningkatkan kesadaran betapa pentingya mempertahankan alam sekitar yang memberikan kehidupan bagi kita. Semua itu dapat kita mulai dari diri kita sendiri dan menjadi motivasi bagi orang diluar sana. Jadilah agen perubahan bagi lingkungan bukan menjadi batu penghancur alam kita.







Comments

  1. yup! itu tanggungjawab kita semua untuk saling menjaganya

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts