DALAM berbagai catatan sejarah Indonesia
timur, selama ini hanya orang Bugis yang diakui sebagai pelaut-pelaut tanggguh.
Selain pernah ke Madagaskar, mereka pun dikisahkan kerap bolak-balik
Makassar-Australia untuk menjalin hubungan dagang dengan Suku Aborigin. Namun
tak banyak orang tahu jika suku Biak (yang mendiami pulau Biak dan Numfor) dari
Papua, juga telah di kenal lama sebagai para penjelajah lautan yang tangguh.
Demikian pernyataan sejarawan A.B. Lapian dalam buku Orang Laut,
Bajak Laut, Raja Laut, Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX.
“Suku Biak menjelajah lautan hingga Maluku, Sulawesi, Jawa bahkan
konon antara 1400-1800, mereka pernah sampai di semenanjung Malaka…,” tulis
A.B. Lapian.
Sejatinya, masih kata Lapian, pelayaran orang Biak dan Numfor
terdorong oleh beberapa hal, yaitu motif persaingan atau korfandi,
lingkungan georafis Biak yang tandus dan kurang menghasilkan secara ekonomis,
perang antar suku, dan adat budaya. Namun menurut Albert Rumbekwan, ada aktor
lain yang menyebabkan terjadinya penjelajahan laut yang dilakukan oleh Suku
Biak Numfor.
“Pada sekitar tahun 1400-an terjadi kemarau panjang di daerah
mereka, sehingga untuk memperoleh bahan makanan, Suku Biak berlayar
keluar kawasan mereka,” ujar sejarawan yang mengajar di Universitas
Cendrawasih, Papua itu.
Pasca kemarau panjang itu, orang Biak dan Numfor lebih
memfokuskan pelayarannya pada aktivitas perdagangan barter, dan merompak
masyarakat suku-suku di sekitar Teluk Cenderawasih, hingga ke sekitar kepulauan
Raja Ampat. Dampak dari aktifitas melaut orang Biak dan Numfor adalah mereka
mendominasi aspek perdagangan dan politik di wilayah tersebut.
“Jejak-jejak mereka bisa kita dapat hari ini dari penamaan
sejumlah tempat di Papua yang memakai istilah bahasa mereka seperti
Manokwari (berasal dari kata mnuk war artinya kampung tua), Sorong (soren),”
ujar Albert.
Dalam proses aktivitas penjelajahan itu, Suku Biak pada
akhirnya harus berhubungan dengan dengan orang-orang di luar Papua
seperti para pelaut Ternate, Tidore, Halmahera-Flores-Gebe, Sulawesi, Buton,
pelaut Tiongkok dan Eropa. Soal ini dibenarkan oleh A.B. Lapian saat mengisahka
kiprah Suku Biak sebagai bajak laut yang menguasai sekitar kepulauan Raja
Ampat, Maluku hingga ke Sulawesi.
“Sumber-sumber Belanda menyebut mereka sebagai Papoesche
Zeerovers yang berarti para bajak laut Papua,” tulis Lapian.
Muridan Widjojo, dalam buku Pemberontakan Nuku,
menyatakan hubungan antara Suku Biak dengan orang-orang di luar mereka bahkan
sudah pada tahap persekutuan politik. Itu terjadi pada sekitar tahun 1780-1810
saat para bajak laut Papua memihak Sultan Nuku dalam menghadapi Kesultanan
Jailolo dan Kesultanan Ternate.
“Para bajak laut Papua dari Teluk Cenderawasih, mengambil bagian
dalam peristiwa itu dan memberikan kemenangan bagi Sultan Nuku,” tulis
sejarawan asal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu dalam bukunya.
Albert Rumbekwan meyakini orang-orang Papua sejak ratusan tahun
lalu sudah memiliki kemampuan maritim yang kuat. Selain itu dalam bidang
ekonomi, sistem dagang Suku Biak terbentuk melalui kongsi dagang antar sahabat
yang disebut; Manibobi, dengan berlayar dan berdagang keliling.
“Mereka menjajakan berbagai komoditas ke beberapa gugusan
kepulauan Yapen-Waropen, Teluk Wondama, dan Teluk Doreri-Manokwari, Amberbaken,
antara lainsagu, kulit kayu massoi, burung cenderawasih, dan budak” ujar
Albert.
Dari kongsi dagang itu, orang Biak memperoleh jenis-jenis
komoditi dagang baru yang diperolehnya dari para pelaut dari Ternate-Tidore,
Buton, Makassar, Tiongkok dan Eropa. Komoditi dagang tersebut antara lain;
porselin Tiongkok, manik-manik, parang, tombak besi, gelang dari besi atau
logam, serta berbagai jenis kain.
Aktivitas pelayaran ini dipimpin oleh Manseren Mnu atau
Suprimanggun, dan “Mambri” sebagai pemimpin perang. Mereka berlayar
menggunakan perahu layar tradisional; Wairon, Waimansusu dan Waipapan/Karures
dan telah menguasai ilmu navigasi yang mengandalkan bintang, seperti
bintang Orion (Sawakoi) dan Scorpio (Romanggwandi).
Kemampuan berlayar dan berdagang sampai ke Ternate-Tidore,
menyebabkan orang Biak diberi gelar-gelar seperti Mambri, Sangaji, Korano,
dan Dimara. Interaksi itu melahirkan akulturasi budaya antara orang
Biak-Numfor dengan suku-suku di daerah Yapen-Waropen, Teluk Wondama, dan
Manokwari melalui perkawinan dan perdagangan.
Menurut Albert, suku-suku di Teluk Cenderawasih adalah suku di
Papua yang pertama kali melangsungkan pelayaran maritim. Suku-suku tersebut
berasal dari kepulauan Biak-Numfor, Yapen-Waropen, Teluk Umar, Kepuluaun
Haarlem, dan Teluk Wondama. Menurut catatan tertulis, sejarah maritim orang
Papua dari Teluk Cenderawasih ini sudah berlangsung lebih awal dari Abad ke-8,
sebelum kehadiran para pelaut Nusantara, Tiongkok dan Eropa di Nieuw Guinea. (Bersambung)
Ditulis Oleh Ibiroma Wamla
Comments
Post a Comment