Skip to main content

Featured

Cerita Perjalanan: Sorong-Pomako (Bagian 1)

 120 JAM Berlayar Bersama Sabuk Nusantara 75 Rabu sore (28/8) usai berkunjung ke keluarga di pulau Doom, saya lalu mampir untuk makan es pisang ijo di belakang kantor PLN Kota Sorong. Kebetulan yang menjualnya adalah teman lama saya saat bekerja di Tambrauw, namanya Noritha Fentiana Murafer. Usai menyantap 2 porsi es pisang ijo saya langsung pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah, saya lalu membereskan barang-barang kedalam 2 ransel "teman hidup" saya. Kemudian makan dan mandi, setelah beres saya lalu berpamitan dan menuju ke pelabuhan menggunakan angkutan umum. Saat sampai di pelabuhan sekitar jam 7.30 malam, ternyata kapal belum masuk. Saya akan berlayar menggunakan KM. Sabuk Nusantara 75 dari Sorong ke Pomako (Mimika). Pelayaran ini memiliki rute Sorong-Yellu- Bula- Geser- Goram- Fakfak- Karas- Kaimana- Lobo- Pomako. Artinya kami akan menyinggahi 8 pemberhentian sebelum sampai ke pelabuhan tujuan saya. Setelah menunggu beberapa saat, tidak lama kemudian kapal pun sandar

MANBRI (Bajak Laut dari Papua)

43Suku-Biak2.jpg

DALAM berbagai catatan sejarah Indonesia timur, selama ini hanya orang Bugis yang diakui sebagai pelaut-pelaut tanggguh. Selain pernah ke Madagaskar, mereka pun dikisahkan kerap bolak-balik Makassar-Australia untuk menjalin hubungan dagang dengan Suku Aborigin. Namun tak banyak orang tahu jika suku Biak (yang mendiami pulau Biak dan Numfor) dari Papua, juga telah di kenal lama sebagai para penjelajah lautan yang tangguh. Demikian pernyataan  sejarawan A.B. Lapian dalam buku Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut, Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX.
“Suku Biak menjelajah lautan hingga Maluku, Sulawesi, Jawa bahkan konon antara 1400-1800, mereka pernah sampai di semenanjung Malaka…,” tulis A.B. Lapian.
Sejatinya, masih kata Lapian, pelayaran orang Biak dan Numfor terdorong oleh beberapa hal, yaitu motif persaingan atau korfandi, lingkungan georafis Biak yang tandus dan kurang menghasilkan secara ekonomis, perang antar suku, dan adat budaya. Namun menurut Albert Rumbekwan, ada aktor lain yang menyebabkan terjadinya penjelajahan laut yang dilakukan oleh Suku Biak Numfor.
“Pada sekitar tahun 1400-an terjadi kemarau panjang di daerah mereka, sehingga untuk memperoleh bahan makanan,  Suku Biak berlayar keluar kawasan mereka,” ujar sejarawan yang mengajar di Universitas Cendrawasih, Papua itu.
Pasca kemarau panjang itu, orang Biak dan Numfor lebih memfokuskan pelayarannya pada aktivitas perdagangan barter, dan merompak masyarakat suku-suku di sekitar Teluk Cenderawasih, hingga ke sekitar kepulauan Raja Ampat. Dampak dari aktifitas melaut orang Biak dan Numfor adalah mereka mendominasi aspek perdagangan dan politik di wilayah tersebut.
“Jejak-jejak mereka bisa kita dapat hari ini dari penamaan sejumlah tempat di Papua yang memakai istilah bahasa mereka seperti  Manokwari (berasal dari kata mnuk war artinya kampung tua), Sorong (soren),” ujar Albert.
Dalam proses aktivitas penjelajahan itu, Suku Biak pada akhirnya  harus berhubungan dengan dengan orang-orang di luar Papua seperti para pelaut Ternate, Tidore, Halmahera-Flores-Gebe, Sulawesi, Buton, pelaut Tiongkok dan Eropa. Soal ini dibenarkan oleh A.B. Lapian saat mengisahka kiprah Suku Biak sebagai bajak laut yang menguasai sekitar kepulauan Raja Ampat, Maluku hingga ke Sulawesi.  
“Sumber-sumber Belanda menyebut mereka sebagai Papoesche Zeerovers yang berarti para bajak laut Papua,” tulis Lapian.
Muridan Widjojo, dalam buku Pemberontakan Nuku, menyatakan hubungan antara Suku Biak dengan orang-orang di luar mereka bahkan sudah pada tahap persekutuan politik. Itu terjadi pada sekitar tahun 1780-1810 saat para bajak laut Papua memihak Sultan Nuku dalam menghadapi Kesultanan Jailolo dan Kesultanan Ternate.
“Para bajak laut Papua dari Teluk Cenderawasih, mengambil bagian dalam peristiwa itu dan memberikan kemenangan bagi Sultan Nuku,” tulis sejarawan asal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu dalam bukunya.
Albert Rumbekwan meyakini orang-orang Papua sejak ratusan tahun lalu sudah memiliki kemampuan maritim yang kuat. Selain itu dalam bidang ekonomi, sistem dagang Suku Biak terbentuk melalui kongsi dagang antar sahabat yang disebut; Manibobi, dengan berlayar dan berdagang keliling.
“Mereka menjajakan berbagai komoditas ke beberapa gugusan kepulauan Yapen-Waropen, Teluk Wondama, dan Teluk Doreri-Manokwari, Amberbaken, antara lainsagu, kulit kayu massoi, burung cenderawasih, dan budak” ujar Albert.
Dari kongsi dagang itu, orang Biak memperoleh jenis-jenis komoditi dagang baru yang diperolehnya dari para pelaut dari Ternate-Tidore, Buton, Makassar, Tiongkok dan Eropa. Komoditi dagang tersebut antara lain; porselin Tiongkok, manik-manik, parang, tombak besi, gelang dari besi atau logam, serta berbagai jenis kain.
Aktivitas pelayaran ini dipimpin oleh Manseren Mnu atau Suprimanggun, dan “Mambri” sebagai pemimpin perang. Mereka berlayar menggunakan perahu layar tradisional; Wairon, Waimansusu dan Waipapan/Karures dan telah menguasai ilmu navigasi yang mengandalkan bintang, seperti bintang Orion (Sawakoi) dan Scorpio (Romanggwandi).
Kemampuan berlayar dan berdagang sampai ke Ternate-Tidore, menyebabkan orang Biak diberi gelar-gelar seperti Mambri, Sangaji, Korano, dan Dimara. Interaksi itu melahirkan akulturasi budaya antara orang Biak-Numfor dengan suku-suku di daerah Yapen-Waropen, Teluk Wondama, dan Manokwari melalui perkawinan dan perdagangan.
Menurut Albert, suku-suku di Teluk Cenderawasih adalah suku di Papua yang pertama kali melangsungkan pelayaran maritim. Suku-suku tersebut berasal dari kepulauan Biak-Numfor, Yapen-Waropen, Teluk Umar, Kepuluaun Haarlem, dan Teluk Wondama. Menurut catatan tertulis, sejarah maritim orang Papua dari Teluk Cenderawasih ini sudah berlangsung lebih awal dari Abad ke-8, sebelum kehadiran para pelaut Nusantara, Tiongkok dan Eropa di Nieuw Guinea. (Bersambung)

Ditulis Oleh Ibiroma Wamla




Comments

Popular Posts