Skip to main content

Featured

Cerita Perjalanan: Sorong-Pomako (Bagian 1)

 120 JAM Berlayar Bersama Sabuk Nusantara 75 Rabu sore (28/8) usai berkunjung ke keluarga di pulau Doom, saya lalu mampir untuk makan es pisang ijo di belakang kantor PLN Kota Sorong. Kebetulan yang menjualnya adalah teman lama saya saat bekerja di Tambrauw, namanya Noritha Fentiana Murafer. Usai menyantap 2 porsi es pisang ijo saya langsung pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah, saya lalu membereskan barang-barang kedalam 2 ransel "teman hidup" saya. Kemudian makan dan mandi, setelah beres saya lalu berpamitan dan menuju ke pelabuhan menggunakan angkutan umum. Saat sampai di pelabuhan sekitar jam 7.30 malam, ternyata kapal belum masuk. Saya akan berlayar menggunakan KM. Sabuk Nusantara 75 dari Sorong ke Pomako (Mimika). Pelayaran ini memiliki rute Sorong-Yellu- Bula- Geser- Goram- Fakfak- Karas- Kaimana- Lobo- Pomako. Artinya kami akan menyinggahi 8 pemberhentian sebelum sampai ke pelabuhan tujuan saya. Setelah menunggu beberapa saat, tidak lama kemudian kapal pun sandar

Bekas yang Berharga



Roy yang merupakan Mahasiswa di salah satu  perguruan tinggi negeri di kota Jayapura setiap pagi suka melakukan olahraga jalan pagi sekitar jam 5:30-6:30 pagi, namun setiap kali jalan dirinya suka membawa noken kosong yang nantinya digunakan untuk mengisi setiap kaleng bekas atau aluminium untuk dibawa pulang ke kos. Kaleng itu nantinya dikumpulkan hingga banyak lalu disetorkan atau dijual ke bank sampah atau tempat beli bestu(besi tua). Alasan dirinya melakukan hal itu adalah untuk mengurangi sampah dan juga menambah pendapatan ekonominy dengan memanfaatkan sampah.
Saat ini sampah menjadi masalah yang cukup kompleks bagi pemerintah, bukan hanya tentang sampah plastik tetapi juga alat elektronik bekas, besi tua, bahkan kaleng minuman. Setiap hari ada sekitar minimal 2 ton sampah yang dimuat ke TPA Nafri, Kota Jayapura. Padahal total sampah rumah tangga di kota Jayapura perhari mencapai 5 ton, lalu kemana 3 ton sisanya? Mungkin saja berakhir ke tempat pembakaran sampah rumah tangga yang justru menambah polusi udara, atau bisa saja berakhir ke sungai, danau ataupun laut.
Sampah atau barang bekas bagi kebanyakan orang adalah “kotoran”, tetapi bagi mereka yang peduli lingkungan akan menganggap itu sebagai ancaman yang harus secepatnya disterilkan. Sedangkan bagi mereka yang memiliki jiwa bisnis sekaligus peduli dengan lingkungan akan menganggap barang bekas itu sebagai peluang mendapatkan pundi-pundi rupiah sekaligus mengurangi sampah seperti cerita Roy diatas.
Namun tentu saja untuk memanfaatkan barang bekas dari sampah ini tidak mudah bagi kalangan muda di Papua, masih banyak anak muda yang gengsi untuk mengumpulkan sampah untuk dijual. Padahal barang bekas itu juga berharga dari pada dibiarkan mengotori bumi Papua. Namun tentu saja meskipun sedikit masih ada anak-anak muda yang peduli untuk memanfaatkan sampah atau barang bekas itu untuk dijual.
Akhir-akhir ini sudah ada pergerakan beberapa komunitas peduli lingkungan yang melakukan kampanye “angkat sampah” yang kemudian sampah tersebut akan dibawah ke TPA  atau dipilah dan ditabung ke tabungan sampah di Bank-bank sampah yang ada di kota dan Kabupaten Jayapura. Namun sayang jumlah orang-orang dan komunitas yang peduli lingkungan ini masih sangat minim,
Sudah selayaknya generasi muda di Papua melakukan tindakan nyata untuk menjaga lingkungan salah satunya dengan memanfaatkan barang bekas untuk dijadikan penghasilan ekonomi dari pada hanya jago berbicara politik dan sosial dengan mengabaikan lingkungannya. Mari hilangkan gengsi kita dan menjaga lingkungan sebelum sampah benar-benar membuat alam Papua yang indah menjadi ladang sampah.



Comments

Post a Comment

Popular Posts