Skip to main content

Featured

Catatan Carlyno #1

  Mereka yang memiliki otoritas sengaja memelihara konflik dan membuat orang Papua dengan orang Papua sendiri saling membunuh, saling membenci, saling mendengki. Orang Papua tidak dipunahkan secara eksternal tetapi juga internal, pembiaran ini akan berdampak sampai dimana konflik antar sesama orang Papua. Lalu mereka yang menciptakan dan memelihara konflik akan dengan santainya menjual isu ke dunia luar bahwa mereka hadir sebagai pembawa kedamaian. Orang-orang tidak akan lagi melihat akar konflik, tidak akan lagi menarik benang merah konflik. Tetapi akan langsung mengambil sebuah kesimpulan, tentang tragedi berdarah yang tercipta tanpa penyelesaian yang terarah ke perdamaian. Andholyno

FESTIVAL PEMUDA 2019 (Bagian-1)



Pendaftaran Hingga Pengumuman Delegasi
            Pada akhir Agustus 2018 setelah sesi materi pelatihan pada sebuah kegiatan selesai, saya melihat HP saya tampak sebuah panggilan tak terjawab dari nomor yang tidak saya kenali. Tampaknya ada sebuah pesan masuk juga dari nomor yang tadi menelpon saya “Hallo Andho, ini Vivia. Jika tidak ada kesibukan sebentar sa telepon e. trima kasih” seperti itulah isi pesan singkatnya, rupanya itu adalah panggilan dan sms dari teman saya Vivia Tablaseray. Waktu itu memang internet di Kota Jayapura dan beberapa kota lainnya sedang di Shutdown akibat demonstrasi rasisme sehingga berkomunikasi lewat Whatsapp agak susah. Setelah menunggu beberapa hari hingga internet normal kembali, Vivi memberitahukan saya untuk mengikuti Festival Pemuda 2019 dengan syarat pertama membuat tulisan essai. Saya memiliki topik lingkungan dengan memakai salah satu tulisan saya berjudul “KRIBO HITAM”, setelah tulisan essai beres kemudian mengupload foto di instagram memakai twibon yang telah disediakan.
           
Saya kemudian mengajak beberapa kenalan saya untuk mendaftar juga, setelah itu kami menunggu hingga pengumuman peserta lolos diumumkan. Menunggu hingga hari berganti dari tanggal pengumuman dan menunggu hingga jam 2 pagi terbayar lunas ketika nama saya berada tepat berada dibawah nama koordinator wilayah, ternyata dari 10 peserta delegasi Papua 5 peserta diantaranya saya kenal.
           
Penerbangan Menuju Semarang yang Penuh Drama
            Tanggal 13 Oktober 2019, saya bersama Trishanty bertemu teman kami asal Wamena yaitu Elfrida Wenda di Putaran taksi perumnas 3 waena, Jayapura. Kami bertiga kemudian menuju ke Bandara Sentani untuk bertemu ketujuh teman lainnya, setelah sampai di bandara ternyata Munir, Berto, Masita dan Yoke telah menunggu kami, sayapun diberi kepercayaan untuk lapor tiket rombongan kami ke petugas maskapai. Setelah mengantri selama 30 menit kemudian petugas mengatakan bahwa sistem sedang error, saya tetap sabar menunggu hingga kemudian kami mengantri lagi.

Namun kali ini petugas sangat lamban dalam melayani penumpang, untuk 1 tiket yang mau dibuat boarding pass saja membutuhkan waktu 10-15 menit. Saya berdiri di antrian ketiga, kemudian salah satu teman kami Elvira datang dan menitipkan kartu identitasnya dan mengatakan bahwa kami hanya berdelapan karena Wiya sudah duluan di ruang tunggu. Tibalah saya di depan meja petugas maskapai, lalu di grup WA delegasi Papua Wiya mengabari bahwa dia sudah berada di pesawat, sontak sambil memperhatikan petugas yang sedang mengurusi kode booking kami saya mulai memarahinya kenapa kami dipindahkan ke penerbangan siang hari dengan nada keras dan kasar. Suasana menjadi tegang, penumpang lainnya ikut memprotes, namun sang petugas bukannya menenangkan situasi justru ditambah dengan petugas lainnya yang membawa daftar nama penumpang lainnya yang entah dari mana. “praakk” meja berbunyi dengan keras, “ko urus sa pu rombongan selesai baru urus yang lain!” saya yang sudah sangat emosi langsung meluapkannya hingga tiket kami berdelapan pun beres dan menuju ke ruang tunggu.

            Jam 13:45 WIT kami terbang menuju Bandara Sultan Hasanuddin, setelah sampai kami lalu melapor ke bagian transit untuk penerbangan selanjutnya menuju Surabaya dan Semarang. Di Makassar teman kami Elfrida berbeda penerbangan menuju Semarang, dirinya bersama Korwil kami Vivia satu penerbangan. Tampak teman kami Wiya sudah sampai di Surabaya, saya lalu menuju meja transit yang tampak sudah sangat ramai dengan penumpang transit, tampak beberapa penumpang tujuan Surabaya membentak-bentak petugas dengan logat khas Surabaya. Saya lalu melaporkan bahwa penerbangan kami menuju ke Surabaya, lalu dengan santainya petugas wanita dibalik meja menjawab “berangkatnya besok sore kak”. Saya yang masih emosi dengan kejadian di bandara Sentani langsung memarahinya, teman-teman delegasi yang lain langsung merapat mendekati saya. Setelah adu mulut dan gebrak-gebrak meja cukup panas datanglah seorang petugas pria, dia berjanji akan segera memberangkatkan saya dan rombongan namun kami harus bersabar terlebih dahulu agar dia bisa mengusahakannya. Kami pun agak menjauh dari meja transit dan berdiskusi bersama Korwil kami, korwil langsung menelpon memberitahukan korzon(koordinator zonasi) kami. Setelah itu Korwil bersama Elfrida berpisah dengan kami bertujuh karena pesawat mereka berdua segera terbang, teman kami Wiya juga sudah siap terbang dari Surabaya menuju Semarang, hanya kami bertujuh yang nasibnya masih digantung maskapai.


Sekitar 10 menit kemudian, petugas pria tadi memanggil kami menuju meja maskapai. Dengan penuh penyesalan dan permintaan maaf ia menjelaskan bahwa cara terbaik agar kami bisa segera cepat sampai di Semarang adalah lewat Jakarta, namun besok pagi baru kami bisa lanjut ke Semarang dari Jakarta. Setelah berdiskusi sebentar akhirnya kami memutuskan untuk mengikuti tawaran lewat Jakarta, setelah diberikan boarding pass saya dan Trishanty lalu membelikan makanan dan teman-teman lainnya terlebih dahulu masuk ke ruang tunggu. Kami akhirnya terbang menuju bandara Soekarno-Hatta, Tanggerang, Banten. Suatu perjalanan diluar dugaan kami, tapi itu satu-satunya jalan tercepat menuju Semarang saat itu. Paling tidak kami kehilangan satu hari daripada dua hari kegiatan. Kami diberi akomodasi dari maskapai penerbangan untuk menginap di Hotel Golden Tulip Essential, Tanggerang selama satu malam. Barulah hari senin pagi (14/10) kami terbang menuju ke Semarang.


Semobil Bersama Prof Imam Prasoedjo
            Tampak tambak-tambak nelayan dari jendela pesawat, tidak lama kemudian pesawat mendarat di Bandar udara internasional Achmad Yani, Semarang, Jawa Tengah. Setelah turun dari pesawat saya langsung menghubungi Korwil kami bahwa kami sudah mendarat di Semarang, kami disuruh menunggu panitia yang nantinya akan menjemput kami. Kami bertujuh pun berjalan keluar dari ruang kedatangan menuju terminal penjemputan penumpang, namun hal mengesalkan kembali muncul. Setelah  kami keluar dari pintu kedatangan tampak seorang pria berbadan kekar yang tidak kami kenali berdiri memegang HP sambil mengambil gambar kami, saya sudah tau namun saya tetap berjalan santai bersama teman-teman. Setelah sampai di terminal saat duduk barulah teman-teman lainnya menyampaikan bahwa mereka takut, saya mencoba menenangkan mereka dengan mengatakan “itu mungkin intel yang kira kitong mahasiswa eksodus”. saat itu memang saya memakai baju kaos bertuliskan KAMI BUKAN MONYET sebagai tanpa protes terhadap aksi rasisme ormas dan aparat kepada mahasiswa Papua di Surabaya, dalam benak saya berpikir pasti pria tadi mengira kami merupakan mahasiswa Papua yang sempat pulang ke Papua saat ada gelombang Eksodus besar-besaran dari Mahasiswa dan pelajar Papua di luar Papua pasca kasus rasisme tersebut.
           
Sekitar 1 jam menunggu jemputan, seorang pria menghampiri kami mengkonfirmasi bahwa mereka yang disuruh menjemput kami tetapi hanya bisa memuat 4 orang. Kami pun bersepakat 4 teman wanita kami yang diangkut duluan menuju tempat kegiatan, sedangkan kami bertiga akan menunggu kendaraan berikutnya. Setelah menunggu sekitar 45 menit akhirnya penjemput kami tiba, namun kami disuruh tunggu sebentar karena akan sekaligus dengan pemateri yang juga baru tiba dari Jakarta. 15 menit kemudian kami diarahkan ke mobil, tampak seorang Pria berambut putih yang umurnya sekitar 50-an tahun bersama istri juga berjalan menuju mobil yang sama dengan kami. Pria itu lalu menyuruh salah satu penjemput kami untuk naik angkot karena kapasitas mobil yang tidak cukup untuk kami semua, di kursi penumpang bagian depan digunakan untuk menaruh tas milik pemateri, kursi bagian tengah ditempati teman kami Munir serta Pemateri dan istrinya, dibagian belakang yang kursinya tidak bisa diturunkan akibat diikat membuat saya dan Hans harus duduk melantai dibawah sambil melipat kaki selama perjalanan.



Setelah mobil mulai berjalan diskusi pun dimulai, berawal dari Pria berambut putih tadi yang merupakan pemateri dan juri 10 besar proposal delegasi mulai bertanya tentang asal dan kampus kami. Setelah itu diskusi diatas kendaraan roda 4 itu makin akrab dan serius, lalu saya dan Hans menanyakan nama pria berambut putih itu, jawabannya “coba cari di google Imam Prasodjo”. Karena HP saya sudah padam akibat baterai yang sudah habis, maka Hans yang mencari di Google. Setelah menemukan hasilnya kami berdua sangat terkagum-kagum, sambil memuji beliau diskusi kami pun terus berlanjut hingga tiba di Green Valley, Bandungan, Kabupaten Semarang. (Bersambung)

Comments

Post a Comment

Popular Posts