Pendaftaran
Hingga Pengumuman Delegasi
Pada akhir Agustus 2018 setelah sesi materi pelatihan
pada sebuah kegiatan selesai, saya melihat HP saya tampak sebuah panggilan tak
terjawab dari nomor yang tidak saya kenali. Tampaknya ada sebuah pesan masuk
juga dari nomor yang tadi menelpon saya “Hallo Andho, ini Vivia. Jika tidak ada
kesibukan sebentar sa telepon e. trima kasih” seperti itulah isi pesan
singkatnya, rupanya itu adalah panggilan dan sms dari teman saya Vivia
Tablaseray. Waktu itu memang internet di Kota Jayapura dan beberapa kota
lainnya sedang di Shutdown akibat
demonstrasi rasisme sehingga berkomunikasi lewat Whatsapp agak susah. Setelah menunggu beberapa hari hingga internet
normal kembali, Vivi memberitahukan saya untuk mengikuti Festival Pemuda 2019
dengan syarat pertama membuat tulisan essai. Saya memiliki topik lingkungan
dengan memakai salah satu tulisan saya berjudul “KRIBO HITAM”, setelah tulisan
essai beres kemudian mengupload foto di instagram memakai twibon yang telah
disediakan.
Saya
kemudian mengajak beberapa kenalan saya untuk mendaftar juga, setelah itu kami
menunggu hingga pengumuman peserta lolos diumumkan. Menunggu hingga hari
berganti dari tanggal pengumuman dan menunggu hingga jam 2 pagi terbayar lunas
ketika nama saya berada tepat berada dibawah nama koordinator wilayah, ternyata
dari 10 peserta delegasi Papua 5 peserta diantaranya saya kenal.
Penerbangan
Menuju Semarang yang Penuh Drama
Tanggal 13 Oktober 2019, saya bersama Trishanty bertemu
teman kami asal Wamena yaitu Elfrida Wenda di Putaran taksi perumnas 3 waena,
Jayapura. Kami bertiga kemudian menuju ke Bandara Sentani untuk bertemu ketujuh
teman lainnya, setelah sampai di bandara ternyata Munir, Berto, Masita dan Yoke
telah menunggu kami, sayapun diberi kepercayaan untuk lapor tiket rombongan
kami ke petugas maskapai. Setelah mengantri selama 30 menit kemudian petugas
mengatakan bahwa sistem sedang error,
saya tetap sabar menunggu hingga kemudian kami mengantri lagi.
Namun
kali ini petugas sangat lamban dalam melayani penumpang, untuk 1 tiket yang mau
dibuat boarding pass saja membutuhkan waktu 10-15 menit. Saya berdiri di
antrian ketiga, kemudian salah satu teman kami Elvira datang dan menitipkan
kartu identitasnya dan mengatakan bahwa kami hanya berdelapan karena Wiya sudah
duluan di ruang tunggu. Tibalah saya di depan meja petugas maskapai, lalu di
grup WA delegasi Papua Wiya mengabari bahwa dia sudah berada di pesawat, sontak
sambil memperhatikan petugas yang sedang mengurusi kode booking kami saya mulai
memarahinya kenapa kami dipindahkan ke penerbangan siang hari dengan nada keras
dan kasar. Suasana menjadi tegang, penumpang lainnya ikut memprotes, namun sang
petugas bukannya menenangkan situasi justru ditambah dengan petugas lainnya
yang membawa daftar nama penumpang lainnya yang entah dari mana. “praakk” meja
berbunyi dengan keras, “ko urus sa pu rombongan selesai baru urus yang lain!”
saya yang sudah sangat emosi langsung meluapkannya hingga tiket kami berdelapan
pun beres dan menuju ke ruang tunggu.
Jam 13:45 WIT kami terbang menuju Bandara Sultan
Hasanuddin, setelah sampai kami lalu melapor ke bagian transit untuk
penerbangan selanjutnya menuju Surabaya dan Semarang. Di Makassar teman kami
Elfrida berbeda penerbangan menuju Semarang, dirinya bersama Korwil kami Vivia
satu penerbangan. Tampak teman kami Wiya sudah sampai di Surabaya, saya lalu
menuju meja transit yang tampak sudah sangat ramai dengan penumpang transit,
tampak beberapa penumpang tujuan Surabaya membentak-bentak petugas dengan logat
khas Surabaya. Saya lalu melaporkan bahwa penerbangan kami menuju ke Surabaya,
lalu dengan santainya petugas wanita dibalik meja menjawab “berangkatnya besok
sore kak”. Saya yang masih emosi dengan kejadian di bandara Sentani langsung
memarahinya, teman-teman delegasi yang lain langsung merapat mendekati saya.
Setelah adu mulut dan gebrak-gebrak meja cukup panas datanglah seorang petugas
pria, dia berjanji akan segera memberangkatkan saya dan rombongan namun kami
harus bersabar terlebih dahulu agar dia bisa mengusahakannya. Kami pun agak
menjauh dari meja transit dan berdiskusi bersama Korwil kami, korwil langsung
menelpon memberitahukan korzon(koordinator zonasi) kami. Setelah itu Korwil
bersama Elfrida berpisah dengan kami bertujuh karena pesawat mereka berdua
segera terbang, teman kami Wiya juga sudah siap terbang dari Surabaya menuju
Semarang, hanya kami bertujuh yang nasibnya masih digantung maskapai.
Sekitar
10 menit kemudian, petugas pria tadi memanggil kami menuju meja maskapai.
Dengan penuh penyesalan dan permintaan maaf ia menjelaskan bahwa cara terbaik
agar kami bisa segera cepat sampai di Semarang adalah lewat Jakarta, namun
besok pagi baru kami bisa lanjut ke Semarang dari Jakarta. Setelah berdiskusi
sebentar akhirnya kami memutuskan untuk mengikuti tawaran lewat Jakarta,
setelah diberikan boarding pass saya dan Trishanty lalu membelikan makanan dan
teman-teman lainnya terlebih dahulu masuk ke ruang tunggu. Kami akhirnya
terbang menuju bandara Soekarno-Hatta, Tanggerang, Banten. Suatu perjalanan
diluar dugaan kami, tapi itu satu-satunya jalan tercepat menuju Semarang saat
itu. Paling tidak kami kehilangan satu hari daripada dua hari kegiatan. Kami
diberi akomodasi dari maskapai penerbangan untuk menginap di Hotel Golden Tulip
Essential, Tanggerang selama satu malam. Barulah hari senin pagi (14/10) kami
terbang menuju ke Semarang.
Semobil
Bersama Prof Imam Prasoedjo
Tampak tambak-tambak nelayan dari jendela pesawat, tidak
lama kemudian pesawat mendarat di Bandar udara internasional Achmad Yani,
Semarang, Jawa Tengah. Setelah turun dari pesawat saya langsung menghubungi
Korwil kami bahwa kami sudah mendarat di Semarang, kami disuruh menunggu
panitia yang nantinya akan menjemput kami. Kami bertujuh pun berjalan keluar
dari ruang kedatangan menuju terminal penjemputan penumpang, namun hal
mengesalkan kembali muncul. Setelah kami
keluar dari pintu kedatangan tampak seorang pria berbadan kekar yang tidak kami
kenali berdiri memegang HP sambil mengambil gambar kami, saya sudah tau namun
saya tetap berjalan santai bersama teman-teman. Setelah sampai di terminal saat
duduk barulah teman-teman lainnya menyampaikan bahwa mereka takut, saya mencoba
menenangkan mereka dengan mengatakan “itu mungkin intel yang kira kitong
mahasiswa eksodus”. saat itu memang saya memakai baju kaos bertuliskan KAMI
BUKAN MONYET sebagai tanpa protes terhadap aksi rasisme ormas dan aparat kepada
mahasiswa Papua di Surabaya, dalam benak saya berpikir pasti pria tadi mengira
kami merupakan mahasiswa Papua yang sempat pulang ke Papua saat ada gelombang
Eksodus besar-besaran dari Mahasiswa dan pelajar Papua di luar Papua pasca
kasus rasisme tersebut.
Sekitar
1 jam menunggu jemputan, seorang pria menghampiri kami mengkonfirmasi bahwa
mereka yang disuruh menjemput kami tetapi hanya bisa memuat 4 orang. Kami pun
bersepakat 4 teman wanita kami yang diangkut duluan menuju tempat kegiatan,
sedangkan kami bertiga akan menunggu kendaraan berikutnya. Setelah menunggu
sekitar 45 menit akhirnya penjemput kami tiba, namun kami disuruh tunggu
sebentar karena akan sekaligus dengan pemateri yang juga baru tiba dari
Jakarta. 15 menit kemudian kami diarahkan ke mobil, tampak seorang Pria
berambut putih yang umurnya sekitar 50-an tahun bersama istri juga berjalan
menuju mobil yang sama dengan kami. Pria itu lalu menyuruh salah satu penjemput
kami untuk naik angkot karena kapasitas mobil yang tidak cukup untuk kami
semua, di kursi penumpang bagian depan digunakan untuk menaruh tas milik
pemateri, kursi bagian tengah ditempati teman kami Munir serta Pemateri dan
istrinya, dibagian belakang yang kursinya tidak bisa diturunkan akibat diikat
membuat saya dan Hans harus duduk melantai dibawah sambil melipat kaki selama
perjalanan.
Setelah
mobil mulai berjalan diskusi pun dimulai, berawal dari Pria berambut putih tadi
yang merupakan pemateri dan juri 10 besar proposal delegasi mulai bertanya
tentang asal dan kampus kami. Setelah itu diskusi diatas kendaraan roda 4 itu
makin akrab dan serius, lalu saya dan Hans menanyakan nama pria berambut putih
itu, jawabannya “coba cari di google Imam Prasodjo”. Karena HP saya sudah padam
akibat baterai yang sudah habis, maka Hans yang mencari di Google. Setelah
menemukan hasilnya kami berdua sangat terkagum-kagum, sambil memuji beliau
diskusi kami pun terus berlanjut hingga tiba di Green Valley, Bandungan,
Kabupaten Semarang. (Bersambung)
p
ReplyDeletep
ReplyDeletemantap
ReplyDelete