Tak terhitung banyaknya manbri yang telah gugur di medan pertempuran
baik di darat maupun di laut. Perjalanan perompakan, perjalanan
mengarungi lautan yang luas demi menaikan wibawa (harga diri) mnu
(kampung) dan keret (marga) di masa lampau. Hal ini membuat mereka harus
berjuang bahkan nyawa taruhannya. Banyak dari mereka yang gugur sebagai
"apyokem" dan menjadi debu, namun kisah epik kepahlawanan mereka masih
menjadi cerita tutur hingga hari ini, bahkan dalam manuskrip-manuskrip
tua eksistensi mereka di catat. Kejayaan mereka mulai hilang tanpa bekas
seperti sambaran petir yang tak terdengar lagi.
Kadang sebutan
“manbri” memiliki konotasi negatif yang selalu identik dengan sifat
buruk dari seorang manbri yaitu orang yang suka membunuh, merampas,
merampok, menebas, dsb. Apakah mereka seburuk itu? Tidak juga. Gejolak
batin mereka, bertentangan dengan tindakan mereka sebagai perompak.
Sewaktu melakukan penyerangan, mereka biasanya akan menghabisi para
lelaki yang berupaya melawan, anak kecil dan wanita biasanya akan
menjadi tawanan atau budak (women).
Seorang manbri memiliki beberapa
kriteria yang pantas disebut manbri. Seorang manbri tidak hanya
menguasai peralatan tempur seperti Ikoi Mamun (panah), Bome (Lembing,
Tombak), Sumber (parang), Adai (perisai), dsb, tetapi juga menguasai
teknik berperang, bisa mengorganisasi pasukan Rak Mamun, bisa mengelabui
musuh (mbrop), dan berani mengambil keputusan yang cepat dan tepat.
Setiap keputusan (wos snemuk) yang tepat akan membawa hasil yang baik.
Untuk melihat berapa banyak musuh yang dibunuh, ada tanda khusus (khas)
milik manbri. Seorang manbri tidak akan menggunakan sembarang simbol
atau tanda.
Tanda-tanda demikian harus sesuai dengan jumlah kepala
musuh. “Bulu putih hanya boleh dipakai oleh orang yang telah membunuh
orang yang jumlahnya sama dengan jumlah bulu yang dipakainya.” (Kamma,
1981:102) Dalam kasus seperti ini, seorang manbri tidak bisa berbohong
atau menipu dengan memasang jumlah bulu putih yang lebih. Ini harus
sesuai dengan fakta dan seorang manbri harus sanggup menceritakan setiap
peristiwa pembunuhan dengan cara yang meyakinkan sehingga orang lain
bisa mempercayainya.
baca juga
KORANO BAIBO MORIN
Ada banyak kisah menarik tentang manbri-manbri
Byak, seperti yang sudah sering disebutkan : Sekfamneri (Kurabesi),
Fakoki dan Patrefi. Selain ketiga manbri tersebut masih ada banyak
manbri yang tidak disebutkan, misalnya manbri-manbri dari Bar Sorido-KBS
: Munsyofi dan Manprefi sekitar tahun 1700-an. Manbri-manbri dari Bar
Sorido-KBS berlayar hingga ke pulau Mapia untuk mencari budak. Penduduk
Mapia selalu menjadi incaran manbri Byak. Mungkin saja, inilah yang di
catat oleh Kapten Carteret pada tahun 1767. Buku Edinburgh Gazetteer or
Geographical Dictionary, tahun 1822 mencatat bahwa Kapten Carteret
mengunjungi pulau itu pada tahun 1767 dan sewaktu berada disana penduduk
asli memberitahukan nama-nama pulau tersebut seperti Pegan, Onata dan
Onella dan juga mencatat bahwa penduduk asli pulau tersebut menyambut
mereka dengan ramah.
Orang-orang Mapia itu juga melaporkan bahwa ada
pulau-pulau lain di bagian Utara yang penghuninya dikatakan memiliki
besi dan selalu membunuh orang Mapia ketika bertemu di laut. Jika
informasi ini merujuk pada bajak laut Biak, berarti cerita tutur
mengenai Armada Bar Sorido-KBS dapat dibenarkan.
Selain kisah
tersebut diatas ada kisah lain mengenai seorang manbri Byak, tapi bukan
mengenai kisah perompakan yang dilakukannya, mari kita telurusi
kisahnya.
Berbicara mengenai seorang manbri selalu dikaitkan
dengan perompakan dan perburuan kepala, berbeda dengan manbri satu ini,
yaitu Manbri Wosraki, dia berasal dari bar Sorido-KBS. Catatan mengenai
manbri ini bukan pergi untuk berperang, bukan untuk membunuh sebaliknya
dia berlayar dengan misi khusus, mungkin berdagang.
Wosraki bersama
dengan krunya berlayar dari Biak hingga Ternate dengan membawa pulang
”Souvenir de Ternate”. Apa yang dibawa pulang? Alb. J. de Neef menulis,
”Orang-orang Biak itu, menyeberangi lautan dan mendayung dari Ternate
dengan dua ekor kambing di laut dan hewan-hewan itu sudah berbulan-bulan
hidup di laut”. Coba anda bayangkan bagaimana kedua kambing muda itu di
terpa angin laut, mungkin dengan sedikit teriakan, kedinginan di atas
perahu Wairon? atau mungkin Mansusu? hewan-hewan itu bersama para
pendayung yang gagah perkasa mendayung melintasi samudera Pasifik.
Baca juga
LUKISAN MANBESAK
Pada
waktu tuan de Neef berada di Korido sekitar tahun 1930-an, dia melihat
banyak kawanan kambing disana yang di miliki oleh lima kepala kampung.
Seorang dari antara kepala Kampung tersebut mengisahkan bahwa manbri
Wosraki yang membawa induk dari kawanan kambing tersebut. Kisah sejarah
pelayaran ini mungkin salah satu dari sekian banyak kisah kemampuan
para manbri Byak yang tak pernah getir dalam mengarungi lautan..
..
Ket foto:
(1) Pria Sorido (1916-1920)
(2) Manbri Korido (1914)
(3) Manbri-Manbri Korido (1900an)
(4) Para Wanita di Pulau Mapia (1903)
Sumber: Postingan Facebook Eba Mefi Korwa Mansnandifu
Comments
Post a Comment