Skip to main content

Featured

Cerita Perjalanan: Sorong-Pomako (Bagian 1)

 120 JAM Berlayar Bersama Sabuk Nusantara 75 Rabu sore (28/8) usai berkunjung ke keluarga di pulau Doom, saya lalu mampir untuk makan es pisang ijo di belakang kantor PLN Kota Sorong. Kebetulan yang menjualnya adalah teman lama saya saat bekerja di Tambrauw, namanya Noritha Fentiana Murafer. Usai menyantap 2 porsi es pisang ijo saya langsung pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah, saya lalu membereskan barang-barang kedalam 2 ransel "teman hidup" saya. Kemudian makan dan mandi, setelah beres saya lalu berpamitan dan menuju ke pelabuhan menggunakan angkutan umum. Saat sampai di pelabuhan sekitar jam 7.30 malam, ternyata kapal belum masuk. Saya akan berlayar menggunakan KM. Sabuk Nusantara 75 dari Sorong ke Pomako (Mimika). Pelayaran ini memiliki rute Sorong-Yellu- Bula- Geser- Goram- Fakfak- Karas- Kaimana- Lobo- Pomako. Artinya kami akan menyinggahi 8 pemberhentian sebelum sampai ke pelabuhan tujuan saya. Setelah menunggu beberapa saat, tidak lama kemudian kapal pun sandar

TANAH DAMAI YANG BERDARAH

 



"Tanah Damai yang berdarah"


Saat kegelapan menyelimuti tanah Nugini,

ketika moyang kami masih berburu budak.

Hadirlah sebuah misi yang suci, sebagai awal peradaban di negeri tak bertuan.


Jauh dari Barat dengan berlayar, mendatangi negeri di timur yang konon manusianya masih penuh dengan kegelapan, tanpa ragu mereka membuka tirai cahaya terang kasih Allah.


Ottow dan Geissler sebagai pembuka jalan, Van Hasselt Senior dan Junior, FC Kamma serta Izaak Samuel Kijne dan para Zending lainnya yang melanjutkan perjalanan berbagi kabar baik dan mendidik orang Papua sejak tahun 1855 lalu hingga kini sudah mulai nampak hasilnya. 


Pendidikan berpola asrama, pendekatan antropologi hingga pelatihan oleh para Misionaris kepada orang-orang asli Papua begitu teringat sebagai kenangan manis yang sulit untuk dilupakan. 


Slogan Papua tanah Damai begitu bergelora di seluruh penjuru negeri Cenderawasih, namun damai itu rasanya hanya slogan di tanah yang masih bercucuran darah ini.


Nyanyian Seruling Emas yang sempat dilarang beredar hingga Hamba Tuhan yang dibunuh dalam kandang babi menjadi cerita tersendiri di tanah yang penuh emas.


Disamping gedung gereja yang mewah, terdapat bangunan sekolah yang kumuh dan guru yang minim. Masih ada juga saat euforia perayaan injil itu hadir di seantero tanah ini, sekelompok rakyat harus mengungsi dari rumah mereka akibat konflik.


Inilah kisah di tanah Damai yang
berdarah. Dahulu dibuka oleh misionaris dengan injil, namun sayang kini dipenuhi bedil.


Andholyno

Schouten Eilanden, 05-02-2022

Comments

Popular Posts