Skip to main content

Featured

Cerita Perjalanan: Sorong-Pomako (Bagian 1)

 120 JAM Berlayar Bersama Sabuk Nusantara 75 Rabu sore (28/8) usai berkunjung ke keluarga di pulau Doom, saya lalu mampir untuk makan es pisang ijo di belakang kantor PLN Kota Sorong. Kebetulan yang menjualnya adalah teman lama saya saat bekerja di Tambrauw, namanya Noritha Fentiana Murafer. Usai menyantap 2 porsi es pisang ijo saya langsung pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah, saya lalu membereskan barang-barang kedalam 2 ransel "teman hidup" saya. Kemudian makan dan mandi, setelah beres saya lalu berpamitan dan menuju ke pelabuhan menggunakan angkutan umum. Saat sampai di pelabuhan sekitar jam 7.30 malam, ternyata kapal belum masuk. Saya akan berlayar menggunakan KM. Sabuk Nusantara 75 dari Sorong ke Pomako (Mimika). Pelayaran ini memiliki rute Sorong-Yellu- Bula- Geser- Goram- Fakfak- Karas- Kaimana- Lobo- Pomako. Artinya kami akan menyinggahi 8 pemberhentian sebelum sampai ke pelabuhan tujuan saya. Setelah menunggu beberapa saat, tidak lama kemudian kapal pun sandar

CERITA PERJALANAN: MENGAWAL 3 ANAK WARMANDI KE MANSINAM

 







Pagi itu Selasa, 21 Desember 2021 cuaca begitu cerah di kota Manokwari. Saya bangun lalu menyimpan pakaian  karena malam hari akan segera berangkat ke kota Sorong, setelah itu saya mencoba  menelpon  nomor Mama Lowisa Yokson untuk menanyakan keberadaan mama dan 4 orang adik (Beni, Fredik, Oskar dan Salom) yang datang ke Manokwari dari kampung Syukwo (dulu Warmandi) di pesisir utara Tambrauw.

 

                Kampung Syukwo atau yang lebih dikenal dengan nama Warmandi merupakan sebuah kampung yang masuk dalam distrik Abun, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat. Kampung yang saya tempati selama bulan Februari-Mei dan September-Desember  tahun 2021 sebagai tenaga Pendamping Masyarakat dan Narahubung Program dari program Sains untuk Konservasi di Wilayah Bentang Laut Kepala Burung oleh LPPM UNIPA (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat).

 

                Kembali ke cerita saya di paragraph pertama, berikut perbincangan singkat saya bersama Mama Lowisa lewat Telepon Genggam:

“Haloo.. Syaloom Mama, ini dengan Andho” ucap saya setelah Mama Lowisa menerima panggilan telepon. Lalu mama Lowisa pun membalas pembicaraan “oh Andho, anak guru ini mama tunggu-tunggu telepon dari kemarin kapal masuk itu” ucap Mama Lowisa.  

 

“Minta maaf baru bisa telpon mama skarang ini, baru mama deng ade dong tinggal dimana? Biar sa dgn anak Alfin jemput ade dong” ucapku. “Mama kitong tinggal di kampung Ambon sini, tapi ada mo ke pasar Sanggeng. Nanti anak kam dua ketemu mama deng ade dong di pasar tingkat dekat pohon matoa yang biasa jual sirih  sana saja e..” ucap mama Lowisa.

 

 “iyo Mama, nanti anak tong dua ke pasar bawa ade dorang” balas saya. “iyo sudah anak guru, ade dong semua su mandi jadi mama lagi mo mandi ini, kam dua langsung ke pasar tingkat e.. mama kitong tunggu disana, da…” ungkap Mama mengakhiri perbincangan kami lewat HP.

 

Setelah mengakhiri percakapan dengan Mama Lowisa, saya lalu menghubungi teman Alfin untuk bertemu di pasagtt5554r Sanggeng sekitar jam 12 siang nanti. Setelah itu saya melanjutkan menyimpan lalu tidur sebentar sampai jam 11.30 kemudian mandi dan bersiap-siap menuju pasar Sanggeng.

 

Saya menggunakan jasa transportasi ojek menuju pasar Sanggeng, setelah tiba kemudian saya membayar uang ojek lalu berjalan menyusuri bagian dalam pasar Sanggeng menuju ke lokasi yang sudah ditentukan oleh Mama Lowisa tadi. Setelah sampai di seberang jalan pohon matoa saya bertemu rekan PM saya Yoris, kamipun bercerita ringan sembari saya menengok ke arah pohon matoa. Saya juga memberi pesan via WA ke rekan saya Alfin bahwa saya sudah tiba di lokasi pertemuan dan sedang mencari Mama Lowisa dan adik-adik.

 

 Sekitar 10 menit duduk tampak di seberang jalan sekitar 20 meter, seorang anak berdiri menatap saya. Dia adalah Fredik, dengan segera dia memanggil Oskar dan Salom lalu lari melintasi jalan sambil berteriak “Pak guru….”. Mereka bertiga pun berlarian lalu memeluk saya dan sesekali mengucapkan “sa pu pa guru”. Sungguh suatu luapan kegembiraan melepaskan rindu setelah beberapa hari berpisah dari mereka pasca saya dan Alfin keluar dari kampung tanggal 11 Desember lalu, mereka bertiga dengan gaya khasnya ada yang sandar, ada yang pegang tangan dan ada yang peluk leher saya.

 

Mama Lowisa menyusul mereka dari belakang dan kami bersalaman lalu berbincang, mama meminta saya dan Alfin membawa ke-3 adik dulu karena mama mau berbelanja. Kamipun menunggu Alfin datang baru kami jalan-jalan, sambil berbincang dengan Mama Lowisa barulah saya tahu bahwa malam hari nanti Oskar dan Salom sudah harus balik naik kapal sabuk nusantara 112 ke Warmandi, adik Beni juga tidak ikut mama jalan-jalan ke pasar karena sedang main HP barunya dirumah. Tidak beberapa lama kemudian Alfinpun datang, ketiga adik lagi-lagi berlari dan memeluk Alfin dengan riang gembira. Sayapun meminta mereka bertiga memasukkan barang belanjaan mereka kedalam ransel saya lalu kami pamit dari Mama Lowisa dan pamit untuk berjalan keluar pasar Sanggeng.

 

Ada pemandangan yang sungguh mengejutkan dan membuat hati saya bergelora saya saat bertemu ketiga adik ini, mereka bertiga tampak berpenampilan sangat berbeda dimana mereka memakai sandal dan kalung yang baru dibeli setibanya di kota Manokwari 2 hari yang lalu. Selain itu, dari mereka bertiga hanya Fredik yang sudah pernah ke Kota Manokwari bulan Juni silam, ketika di kapal dia minta ijin di mama Lowisa untuk ikut saya pulang ke kos kemudian siangnya saya antar dia pulang. Sedangkan Salom dan Oskar, ini merupakan kali perdana mereka menginjakkan kaki di ibukota Provinsi Papua Barat.

 

Sampai di depan pasar Sanggeng, kami berlima lalu menyeberang jalan ke depan kantor pegadaian Sanggeng untuk tunggu taksi ke Amban. Setelah sekitar 10 menit, taksipun datang dan kami naik menuju Amban. Ini juga merupakan kali perdana saya naik taksi di Manokwari, musik didalam taksi yang diputar juga membuat kami bergembira. Setelah sampai di depan kampus UNIPA kamipun memberhentikan taksi dan turun menuju ke warung, sampai di warung hanya kami berempat yang makan (Alfin sudah makan dari rumah). Sambil makan kami juga bercerita, ada kejadian lucu dimana sebelum masuk ke warung hampir saja ada salah satu dari kami yang membuka sandal di depan pintu warung.

 

Usai makan, kami lalu membayar dan keluar untuk menunggu ojek. Kami sempatkan untuk membeli minuman dan makanan ringan untuk dibawa ke Mansinam, setelah itu kami naik ojek menuju pelabuhan ketapang di Kwawi guna menyeberang menggunakan perahu ke Mansinam nanti. Saya naik ojek yang sama dengan Fredik, sedangkan Salom dan Oskar naik ojek yang sama dengan Alfin.

 


Setelah tiba kamipun berjalan menuju dermaga dan turun kebawah untuk naik ke perahu, selama perjalanan tampak mereka bertiga terkesima ketika perahu yang kami naiki membelah lautan teluk Doreh. Hanya senyuman penasaran nan bahagia yang terpancar dari raut wajah mereka, dalam hati saya berpikir mungkin ini kali pertama mereka melewati lautan yang teduh. Maklum saja, Warmandi memiliki ombak dan gelombang yang cukup membuat nyali bagai diuji beberapa pekan silam.

 




Setibanya kami di pantai pulau Mansinam dan turun, langsung mereka bertiga mengambil pasir dan mengoleskannya pada dahi mereka. Ketika saya bertanya, mereka hanya menjawab ini karena mereka baru pertama kali ke tempat baru. Saya sempatkan untuk memotret mereka dahulu pada patung Ottow dan Geisler dekat tugu Alkitab yang tampaknya sedang direnovasi, kemudian kami langsung berjalan menuju Patung Tuhan Yesus diatas gunung.

 

Sambil berjalan kami juga bercerita, beberapa kali Fredik menyanyikan lagu milik grup Irian Jaya 95 tentang masuknya injil ke Pulau Mansinam. Sesekali mereka bertanya tentang tempat-tempat yang ada di Pulau Mansinam dan Manokwari, setelah berjalan menanjak sekitar 20 menit akhirnya kami sampai jumpa di patung Tuhan Yesus setinggi 30 meter. Kemudian kami beristirahat dan bercerita riang, saat saya dan Alfin menanyakan kenapa sampai Oskar bisa ikut ke Manokwari. Dirinya menjawab bahwa itu karena pesan dan ajakan kami berdua (saya dan Alfin) ketika masih di Warmandi kalau nanti Fredik ikut Mama Lowisa ke Manokwari ajak Oskar juga, ternyata Oskar minta ikut ke Manokwari  karena pesan kami waktu itu. Sontak membuat kami berdua (Saya dan Alfin) kaget, karena saat itu kami mengatakan sambil bercanda tetapi justru candaan itu berhasil terwujud dan membuat seorang anak untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Kota Manokwari. Mereka juga bercerita bahwa paska saya dan Alfin keluar dari kampung menggunakan perahu, mereka berdoa pada Tuhan agar perjalanan kami melewati lautan dengan lancar dan selamat. Kamipun bercerita bagaimana kami berempat (Saya, Alfin, Kristian dan Andarias) waktu itu berlayar dari Warmandi sampai Saukorem, setelah bercerita merekapun berjalan-jalan di sekitar halaman patung Tuhan Yesus. Setelah sekitar 45 menit kamipun berfoto bersama dan berjalan turun kembali, kami sempat juga berjumpa dengan seorang pelancong dari Jayapura bermarga Wabiser yang sempat memfotokan kami dan membelikan kami teh pucuk.

 

 Ketika kami beristirahat di halaman patung Tuhan Yesus, puluhan pertanyaan langsung diberikan oleh ketiga adik ini. Begitu pula saat perjalanan turun kembali ke pantai, umumnya tentang pertanyaan-pertanyaan seputar bagaimana injil masuk dan bagaimana kisah Ottow dan Geisler di masa lampau. Saya dan Alfin harus sigap menjawab berbagai pertanyaan tersebut, beruntung kali ini bukan Sergio atau Nelwan yang ikut, kalau mereka berdua bisa ada ratusan pertanyaan nantinya.

 

Kami sempatkan singgah di sumur tua dan beberapa kali berfoto di gereja LahaiRoi, saya juga menceritakan tentang puing gereja Bethel lalu kami melanjutkan perjalanan ke pantai. Sampai di pantai mereka bertiga langsung mengisi pasir putih pantai kedalam botolnya masing-masing, kata mereka nanti mau dibawa pulang ke kampung. Kamipun naik perahu kembali ke dermaga Pelabuhan Kwawi, setelah itu kami berjalan kaki dari Kwawi lewat ASPOL menuju ke Pelabuhan.

 

Karena mama Lowisa sudah menunggu kami disana, mereka bertiga tampak tidak kenal lelah, ketika di jalan kami melewati sekelompok warga yang sedang main permainan Binggo. Setelah jarak beberapa meter saya sempat bertanya pada mereka bertiga tentang permainan apa yang tadi dimainkan warga setempat? Salom menjawab bahwa itu permainan togel, langsung saja dipotong oleh Fredik kalau itu bukan permainan togel. Alfinpun menjelaskan bahwa itu permainan Binggo yang dimainkan, lalu Oskar menimpali “Paguru Andho deng Alfin nanti balik lagi ke kampung ajar tong main Binggo itu e..” kamipun tertawa bersama sambil berjalan.

 

Setelah berjalan sekitar 30 menit kami berlima sampai juga di pelabuhan, tampak dari kejauhan mama Lowisa berada di anjungan kapal Sabuk Nusantara 112 menunggu kami. Kami lalu berbincang sebentar, kemudian saya dan Alfin berjalan menuju Kapal Sabuk Nusantara 96 untuk memindahkan barang rekan PM kami Ike, setelah itu saya pamit untuk pulang ambil barang untuk bawa taruh dikapal.

 

Kamipun berpisah lalu kembali bertemu pada malam hari, sebelum kapal Sabuk Nusantara 96 yang saya tumpangi dan kapal sabuk Nusantara 112 yang Oskar dan Salom tumpangi berlayar meninggalkan Kota Injil Manokwari.

 

Ini bukanlah kisah perjalanan yang mewah, namun sangat terasa istimewah bagi kami berlima. Kami berlima memang tidak memiliki hubungan darah, namun satu kesatuan sebagai anak-anak Papua dan kekeluargaan yang terbangun saat saya dan Alfin mengabdi di Warmandi menjadikan kami lebih dari sekedar keluarga, kekuatan emosional yang begitu mendalam bagaikan adik-kakak kandung menimbulkan rasa saling percaya dan memiliki ikatan jiwa.

    

Salomina Yohana Yeblo, Oskar Agustinus Sundoy, Fredik Bleden Yesnath, Alfin Sraun, Armandho Rumpaidus.

Comments

Popular Posts